Showing posts with label Etika Pariwara. Show all posts
Showing posts with label Etika Pariwara. Show all posts

Iklan : Kode Etik VS Kreatifitas

Friday, April 8, 2011

Sering sekali kita melihat berbagai brand menawarkan produknya, baik melalui media elektronik maupun media cetak. Dengan tagline yang powerfull, dan janji-janji yang menggiurkan mereka berusaha mempengaruhi para konsumen. Tidak jarang konsumen langsung terpengaruh dengan iklan-iklan yang seperti itu. Iklan dengan kata-kata Superlatif memang lebih baik dalam mempengaruhi konsumen dari pada yang tidak mengunakan kata Superlatif.

Dalam EPI ( Etika Pariwara Indonesia ) jika produk tersebut menggunakan kata-kata yang Superlatif tanpa dilandasi alasan-alasan yang jelas sebenarnya mereka sudah melanggar kode etik. “1.2.2 Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, “top”, atau kata-kata berawalan “ter”, dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik“.

Tidak hanya kata-kata yang Superlatif, namun mengejek pesaing dll juga merupakan pelanggaran kode etik dalam pariwara . “1.2.1 Merendahkan : Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung”.

Kalau dilihat dari EPI ( Etika Pariwara Indonesia ), sering kali kita melihat iklan yang ada di media cetak maupun di media elektronik banyak yang melanggar kode etik. Tidak di pungkiri lagi hal ini memang menjadi senjata andalan untuk menarik para konsumen. Terbaik, termurah, dsb memang terlihat lebih menguntungkan kita sebagai konsumen.

Jika kita melihat di perempatan jalan terdapat berbagai baliho yang mengganggu pemandangan. Baliho yang menumpuk-numpuk terlihat tidak memiliki estetika. Seperti baliho yang pernah saya lihat, ada dua baliho dengan Produk sama tetapi merk berbeda yang di pasang berjejer. Pada baliho merk “A” terdapat tagline yang menyebutkan bahwa produk mereka lebih baik dari pada produk disampingnya ( Merk ” B ” ). Tanpa disadari iklan seperti itu sudah merendahkan merk lain meskipun tidak menyebutkan merk tertentu.

Disisi lain dengan adanya EPI ( Etika Pariwara Indonesia ) seperti ingin mematikan kretifitas para sines iklan. Mereka seperti tidak boleh berpikir liar dan mengeksplor semua kreatifitas. Tapi seharusnya mereka juga harus menaati peraturan yang ada.

Dalam dunia periklanan aspek kreatif para pembuat iklan sepertinya sedang di uji. Para pembuat iklan harus lebih berhati-hati dalam membuat iklan. Mereka juga harus berpikir lebih keras bagaimana menggaet konsumen yang baik. Dengan adanya EPI ( Etika Pariwara Indonesia ) bukan berarti kreatifitas mereka di buat mati. Tetapi kreatifitas mereka di tantang bagaimana membuat iklan kreatif tanpa harus melanggar EPI ( Etika Pariwara Indonesia ).

Sumber : http://blog.umy.ac.id/priambodo18/2010/11/22/3/
.


Baca artikel selengkapnya ....

Beberapa Ketentuan Tata Krama Periklanan Ditinjau Dari Segi Isi Iklan

Friday, February 4, 2011

Hak Cipta
Penggunaan, penyebaran, penggandaan, penyiaran atau pemanfaatan lain materi periklanan atau bagian dari materi periklanan yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau pemegang merek yang sah.

Bahasa
Iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut.
Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti "paling", "nomor satu", "top", atau kata-kata berawalan "ter", dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.
Penggunaan kata-kata tertentu harus memenuhi ketentuan berikut:
a. Penggunaan kata "100%", "murni", "asli" untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.
b. Penggunaan kata "halal" dalam iklan hanya dapat dilakukan oleh produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang.
c. Pada prinsipnya kata halal tidak untuk diiklankan. Penggunaan kata "halal" dalam iklan pangan hanya dapat ditampilkan berupa label pangan yang mencantumkan logo halal untuk produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia atau lembaga yang berwenang.
d. Kata-kata "presiden", "raja", "ratu" dan sejenisnya tidak boleh digunakan dalam kaitan atau konotasi yang negatif.

Tanda Asteris (*)
Tanda asteris pada iklan di media cetak tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk.
Tanda asteris pada iklan di media cetak hanya boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut.

Penggunaan Kata "Satu-satunya"
Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata "satu-satunya" atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.

Pemakaian Kata "Gratis"
Kata "gratis" atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.

Pencantum Harga
Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut.

Garansi
Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggung-jawabkan.

Janji Pengembalian Uang (warranty)
Jika suatu iklan menjanjikan pengembalian uang ganti rugi atas pembelian suatu produk yang ternyata mengecewakan konsumen, maka:
Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang.
Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.

Rasa Takut dan Takhayul
Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.

Kekerasan
Iklan tidak boleh - langsung maupun tidak langsung menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.

Keselamatan
Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.

Perlindungan Hak-hak Pribadi
Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagai latar, sepanjang penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan.

Hiperbolisasi
Boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya.

Waktu Tenggang (elapse time)
Iklan yang menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk dalam jangka waktu tertentu, harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu tersebut.

Penampilan Pangan
Iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman.

Penampilan Uang
Penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun pelecehan yang berlebihan.
Iklan tidak boleh menampilkan uang sedemikian rupa sehingga merangsang orang untuk memperolehnya dengan cara-cara yang tidak sah.
Iklan pada media cetak tidak boleh menampilkan uang dalam format frontal dan skala 1:1, berwarna ataupun hitam-putih.
Penampilan uang pada media visual harus disertai dengan tanda "specimen" yang dapat terlihat jelas.

Kesaksian Konsumen (testimony).
Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.
Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya.
Untuk produk-produk yang hanya dapat memberi manfaat atau bukti kepada konsumennya dengan penggunaan yang teratur dan atau dalam jangka waktu tertentu, maka pengalaman sebagaimana dimaksud dalam butir di atas juga harus telah memenuhi syarat-syarat keteraturan dan jangka waktu tersebut.
Kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen tersebut.
Identitas dan alamat pemberi kesaksian jika diminta oleh lembaga penegak etika, harus dapat diberikan secara lengkap. Pemberi kesaksian pun harus dapat dihubungi pada hari dan jam kantor biasa.

Anjuran (endorsement)
Pernyataan, klaim atau janji yang diberikan harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh penganjur.
Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak diperbolehkan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.

Perbandingan
Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama.
Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut.
Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak.

Perbandingan Harga
Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus diseretai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.

Merendahkan
Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.

Peniruan
Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti.
Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir.

Istilah Ilmiah dan Statistik
Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan.

Ketiadaan Produk
Iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya produk yang diiklankan tersebut.

Ketaktersediaan Hadiah
Iklan tidak boleh menyatakan "selama persediaan masih ada" atau kata-kata lain yang bermakna sama.

Pornografi dan Pornoaksi
Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun.

Khalayak Anak-anak
Iklan yang ditujukan kepada khalayak anak-anak tidak boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan, kekurangpengalaman, atau kepolosan mereka.
Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak anak-anak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata "Bimbingan Orangtua" atau simbol yang bermakna sama.

Sumber : http://www.matari-ad.info
.


Baca artikel selengkapnya ....

Iklan “BUILD IN” dalam Sudut Pandang Etika Pariwara di Indonesia

Thursday, January 13, 2011

Kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) sebenarnya sudah mengantisipasi hal ini dan sudah mencantumkan beberapa pasal yang mengatur iklan-iklan "build-in" khususnya di media Radio/Televisi (media elektronik). Bisa dibaca pada EPI Bab III.A.4.9.1 dan III.A.4.9.2, dimana prinsip yang digunakan adalah (sama dengan prinsip iklan advertorial pada media cetak); iklan harus dapat dibedakan dengan suatu berita atau isi program. Secara etika, kalau suatu iklan ditayangkan dalam format adlibs, maka si penyiar/pembawa acara harus memberikan pengantar sebelumnya bahwa informasi yang akan dibacakan berikutnya adalah suatu iklan. Pendekatan yang sama digunakan dalam mengatur gelar wicara (talk-show) yang tercantum dalam EPI Bab III.A.4.10. Jadi pada point ini, saya ingin menekankan bahwa dari sudut pandang EPI, suatu kampanye "build-in" suatu produk adalah sah-sah saja selama pemirsa/konsumen mendapatkan informasi yang jelas bahwa suatu bagian dari program tsb. adalah sponsor/kampanye dari suatu produk/jasa dan tidak dengan disengaja disamarkan dan/atau digabungkan dalam suatu program siaran.

Bila program itu berupa film (misalnya sinetron), untuk menghindari kesan "aneh" bila tiba2 aktor/aktrisnya harus mengatakan suatu dialog yg berhubungan dengan sponsorship tertentu, maka minimal dalam credit title di akhir film tsb. hal ini bisa dicantumkan.

Selain masalah di atas, maka saya akan masuk lebih dalam pada kasus yang ditulis AF di atas. Saya sangat setuju bahwa produk apapun juga yang menggunakan strategi berkampanye "build-in" seharusnya tetap mematuhi aturan/etika mengenai iklan produk/kategori produk tsb. Dalam kasus di atas, benar adanya bahwa untuk iklan obat-obatan (juga kosmetik dan produk-produk lainnya yang efeknya membutuhkan waktu tertentu), tidak diperkenankan memberikan kesan mempunyai dampak seketika (EPI Bab III.A.1.14). Selain itu, iklan/kampanye produk obat-obatan juga diwajibkan mencantumkan "warning": Baca Aturan Pakai dst. selain juga diwajibkan mencantumkan nama produsennya. Dalam suatu kampanye "build-in" petunjuk dan informasi ini juga wajib diucapkan oleh penyiar/pembawa acara.

Bila produk yang akan ditampilkan dalam bentuk "build-in" itu adalah iklan rokok atau produk yg ditujukan khusus bagi individu dewasa ("intimate product"), maka dianjurkan agar pemunculan program tsb adalah di atas pk. 21.30. Produk rokok juga diwajibkan mencantumkan/ menyebutkan "warning" sesuai aturan pemerintah.

Kasus iklan "build-in" memang sangat menarik. Satu hal yang pasti, strategi ini memang membuat proses penanyangan iklan menjadi jauh lebih singkat karena tidak ada proses produksi iklan (cukup dalam bentuk teks/brief saja) dan segala "tetek-bengek" di belakangnya (persetujuan atas ide dan eksekusi iklan, lay-out/story- board, tes via FGD dlsb), tidak ada proses sensor (via LSF unt. iklan TV) bahkan tidak perlu melaporkan ke BPOM untuk produk obat-obatan yang sebenarnya diwajibkan untuk melaporkan iklan/kampanyenya terlebih dahulu.

Kondisi 'singkat-mudah- murah' ini justru wajib kita cermati dengan hati-hati sekali karena akan muncul peluang yang relatif jauh lebih besar untuk terjadinya pelanggaran- pelanggaran etika di sini. Kuncinya ada di tangan produser dari program-program TV/radio yg disponsori tsb. Produser program harus memahami dengan benar etika beriklan dari suatu produk dan tidak semata-mata berorientasi finansial saja. Pihak produsen/pengiklan (dan media agencynya, bila brief untuk kampanye "build-in" ini datang darinya) juga harus benar-benar memahami apa saja resiko yang dihadapinya dgn melakukan proses 'short-cut' (dgn melakukan strategi "build-in" campaign) atas proses promosi produknya.

Sekedar mengingatkan bahwa pada UU RI No. 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 17 ayat 1f, mencantumkan bahwa: Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Dan pada Pasal 20-nya tercantum bahwa: Pelaku usaha periklanan bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang di timbulkan oleh iklan tersebut. Dalam konteks Pasal 20 ini, bila suatu kampanye "build-in" dibuat oleh suatu stasiun radio/TV, maka otomatis penanggungjawab utama dari "iklan build-up" tersebut adalah pihak stasiun radio/TV tsb.

Memang tidak akan mudah "menangkap" pelanggaran- pelanggaran etika pada suatu iklan "build-in" krn sifat pemunculannya bisa jadi hanya satu kali saja (kalaupun diulang, bisa jadi tidak akan bisa sama persis lagi), tidak seperti spot iklan radio/TV standard yang bisa berulang-ulang disiarkan dalam 1 hari. Tapi bukan berarti hal ini tidak mungkin. Setahu saya, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) selalu merekam penuh isi siaran TV. Dan saya tidak anjurkan kita "bermain-api" dengan mengambil asumsi "susah ditangkap" ini. Ya salah satu buktinya adalah email dari rekan AF tsb di atas, bukan?

Akhir kata, terimakasih banyak kepada bung AF atas masukannya dan semoga tulisan saya di atas dapat menjadi wacana diskusi lebih lanjut mengenai etika periklanan bagi rekan-rekan sekalian. Mari Ciptakan Pariwara Beretika!

Sumber : http://www.pppi.or.id/Iklan-BUILD-IN-dalam-Sudut-Pandang-Etika-Pariwara-di-Indonesia.html
.


Baca artikel selengkapnya ....

Etika Pariwara Indonesia : Penyempurnaan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia

Friday, January 7, 2011

Sosialisasi substansi Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang merupakan penyempurnaan kedua terhadap kitab Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, dilakukan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) pada tanggal 10 Mei 2006 di Tiara Room, Hotel Crown Plaza, Jakarta.

Para Panelis terdiri dari Hery Margono - Ketua Hukum dan Perundang-undangan Pengurus Pusat PPPI 2005 - 2008, serta Ridwan Handoyo - Ketua Badan Pengawas Periklanan 2005 - 2008, dan Baty Subakti- Ketua Badan Pengawas Periklanan 2002-2005, dikawal moderator diskusi Ricky Pesik, Sekretaris Umum Pengurus Daerah PPPI DKI.

Di hadapan para peserta yang terdiri dari praktisi periklanan, pengiklan serta para mahasiswa dan dosen komunikasi periklanan, Narga S Habib, Ketua Umum PPPI membuka kegiatan ini dengan mengingatkan pentingnya penegakan etika periklanan di kalangan perusahaan periklanan para anggota PPPI, demi kepentingan masyarakat seluas-luasnya.

Sosialisasi ini merupakan akhir proses setelah dilakukannya dua kali uji publik terhadap penyempurnaan tatanan etika periklanan oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI), sejak Juli 2005 lalu. DPI yang beranggotakan: PPPI, Asosiasi Media Luar Ruang Indonesia (AMLI), Assosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA), Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Serikat Pekerja Surat Kabar (SPS), ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI); kemudian menyepakati sebutan tatanan etika periklanan Indonesia baru, yaitu: Etika Pariwara Indonesia (EPI). Beberapa penyempurnaan dirasa perlu mengingat lompatan teknologi komunikasi dan informasi dalam globalisasi, yang mengakibatkan konvergensi media serta kebutuhan berkampanye pemasaran terpadu yang secara signifikan mempengaruhi munculnya bentuk-bentuk jasa dan metode baru dalam berprofesi dan berpraktik usaha.

Dampak dan implikasi globalisasi dipertimbangkan pesat berpengaruh pada kompleksitas-ekonomi, gaya hidup, dan budaya. Globalisasi dalam komunikasi pemasaran (khususnya periklanan) dicermati punya kemampuan memicu sikap individualis atau perilaku materialis. Kritik dan kekhawatiran akan budaya iklan muncul di masyarakat, dengan asumsi bahwa sebagian konsumen memiliki keterbatasan dalam menilai iklan, hingga dapat mengakibatkan budaya konsumtif yang pasif. Iklan kerap dituding berorientasi hanya pada keuntungan bisnis dan mengabaikan dampak sosial budaya di masyarakat. “Kepedulian utama EPI adalah menjaga hal etika profesi dan etika usahanya demi kepentingan masyarakat luas dan mengantisipasi dampak buruk”, jelas Ridwan Handoyo.

Hery Margono menjelaskan, beberapa klausal yang disempurnakan adalah yang berkaitan dengan iklan testimony, perbandingan, Iklan rumah sakit, Dana amal, penampilan anak dalam iklan, promosi penjualan, sanksi dll. Sedangkan klausal baru adalah tentang anjuran dalam iklan, penghimpunan modal, penggunaan kata “satu-satunya” maupun “yang pertama”, penampilan hewan, penampilan uang, penampilan pangan, Iklan kebijakan publik, penampilan penyandang cacat, transplatasi organ tubuh, alat kontrasepsi, Iklan sambung ulang (back to back), gelar wicara (talk show), post langsung (direct mail), gelar akademis, senjata dan amunisi, gerai pabrik (factory outlet), benda koleksi, hiperbolisasi, product placement, subliminal, subvertensi (subvertising), media baru, dll. Hery pula menambahkan, “EPI selalu terbuka terhadap masukan. Hal ini mengingat dinamika industri komunikasi pemasaran dan perkembangan informasi global berkembang sangat cepat.”

"Kesadaran menerapkan tatanan etika dengan mengacu pada Etika Pariwara Indonesia adalah wujud pemberdayaan pelaku dan industri periklanan sendiri dalam partisipasi melindungi budaya bangsa," jelas Narga S. Habib. Tata Cara dan Tata Krama Periklanan Indonesia, kenyataannya telah ditetapkan sejak 17 September 1981. Penyempurnaan kali ini, dilakukan setelah penyempurnaan pertama pada 19 Agustus 1996. (ank)

Dikutip dari : http://www.pppi.or.id/Etika-Pariwara-Indonesia-Penyempurnaan-Tata-Krama-dan-Tata-Cara-Periklanan-Indonesia.html
.


Baca artikel selengkapnya ....

Etika Pariwara Indonesia

Thursday, December 23, 2010

1. Swakrama (Self regulation)
• Pembuat EPI : AMLI, APPI, ASPINDO (pemrakarsa-penyantun iklan), ATVLI, ATVSI, GPBSI, PPPI, PRSSNI, SPS, Yayasan TVRI : 26 Agustus 2005
• Bentuk kepedulian asosiasi terhadap perlindungan konsumen dan menjaga pelaku periklanan agar berprofesi dan mendapat imbalan secara wajar/pantas
• EPI mengatur isi dan metode penyampaian pesan bukan unsur kreasi dan estetikanya
• Ditegakkan oleh Badan Musyawarah Etika dibawah Dewan Periklanan Indonesia

2. Hak Cipta-Superlatif-Figur
• Penggunaan penyebaran penggandaan dan penyiaran materi atau bagian dari materi periklanan yang bukan milik sendiri harus mendapat izin tertulis dari pemiliknya
• Penggunaan kata superlatif : satu-satunya, “asli”, ter…, harus menyebutkan dalam hal apa ia satusatunya dan harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait
• Iklan yang menampikan figur seseorang harus memperoleh izin dari yang bersangkutan kecuali dalam penampilan massal atau sekedar latarbelakang

3. Iklan Kesehatan
• Iklan Klinik, Poliklinik atau Rumah Sakit Hanya Boleh Sebagai Entitas Bisnis Yang Menawarkan Jasa-Fasilitas. Iklan Tenaga Medis Tidak Diperbolehkan
• Jasa Profesi Dokter, Pengacara Notaris Hanya Boleh Iklan Jam Praktek dan Pindah Alamat.
• Organ Tubuh Seperti Ginjal Kornea Tidak Boleh Diiklankan Baik Pembeli atau Penjual
• Iklan Produk Kesehatan Terbatas Tidak Boleh Disiarkan Pada Media-Waktu Bukan Dewasa

4. Isu-Isu Khusus
• Agama dan Kepercayaan Tidak Boleh Diiklankan Dalam Bentuk Apapun
• Iklan Tidak Boleh Memberi Kesan Yang Merendahkan atau Pengejek Penyandang Cacat dan Perlakuan Yang Tidak Pantas Kepada Hewan Yang Dilindungi.
• Penggunaan Animasi Yang Mirip Tokoh Tertentu Harus Mendapat Izin Tokoh Terkait
• Iklan Tidak Boleh Mengeksploitasi dan Mengobjekkan Merendahkan Perempuan

5. Sosok Anak-Anak
• Anak-Anak Tidak Boleh Digunakan Untuk Mengiklankan Produk Yang Tidak Layak Konsumsi Tanpa Didampingi Orang Dewasa
• Iklan Tidak Boleh Memperlihatkan Adegan Berbahaya Menyesatkan atau Tidak Pantas Dilakukan Anak-Anak
• Iklan Tidak Boleh Menampilkan Anak-Anak Sebagai Penganjur Penggunaan Produk Yang Bukan Untuk Mereka
• Iklan Tidak Boleh Menampilkan Adegan Daya Rengek Anak Memaksa Orang Tua Membeli Produk Keinginan Mereka

6. Rokok dan Minuman Keras
• Iklan Minuman Keras dan Gerainya Hanya Boleh Disiarkan Di Media Non-Massa Dengan Ketentuan : Tidak merangsang khalayak meminumnya. Tidak menyarankan bahwa tidak meminumnya tidak wajar. Tidak ditujukan bagi anak-anak dan wanita hamil
• Iklan Rokok tidak boleh dimuat pada media yang sasarnnya anak-anak dibawah 17 tahun. Syarat lain sama dengan Iklan Minuman Keras

7. Testimoni dan Peniruan
• Kesaksian atas produk hanya boleh dilakukan perorangan bukan kelompok dan dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari konsumen dan sewaktuwaktu bisa dikontak DPI
• Iklan dilarang menggunakan bahasa/istilah ilmiah yang dapat mengelabui konsumen
• Iklan Tidak Boleh Merendahkan Produk Pesaing Secara Langsung Maupun Tidak
• Iklan Tidak Boleh Sengaja Meniru Iklan Produk Pesaing Sedemikian Rupa Baik Atribut Ide Konsep dan Alurnya Sehingga Menyesatkan

8. Hadiah dan Garansi
• Iklan hanya boleh disiarkan jika produknya sudah tersedia di pasaran
• Iklan Tidak Boleh Menyatakan “Selama Persediaan Masih Ada” atau Kata Lain Yang Bermakna sama
• Jika Mencantumkan Garansi atau Jaminan maka dasar jaminannya harus bisa dipertanggungjawabkan
• Jika menjanjikan pengembalikan uang ganti rugi maka pengembalian harus dinyatakan lengkap pada jenis kerusakan atau kekurangan apa dan masa berlakunya

9. Gelar Wicara-Informatif
• Pemandu gelar wicara harus mampu memisahkan dengan jelas materi pokok bahasan dengan materi promosi produk
• Jika menampilkan tenaga profesional maka tidak boleh mengesankan memberi testimoni atau anjuran langsung atau tidak
• Iklan advertorial infotorial infomersial edumersial inspitorial harus jelas memuat jenis iklan ini dan dilarang mempromosikan sepihak suatu kasus persengkataan produk yang belum memiliki kekuatan hukum tetap

10. Media Televisi dan Radio
• Iklan Produk Rokok dan Produk Khusus Dewasa Hanya Boleh Disiarkan Mulai Pukul 21.30 Hingga 05.00 Waktu Setempat
• Materi Iklan Yang Sama Tidak Boleh Diiklan Sambung Ulang Lebih Dari Dua Kali
• Iklan Yang Menampilkan Dramatisasi dan Berbahaya Wajib Mencantumkan Kata “Adegan Ini Didramatisasi” dan “Adegan Berbahaya Jangan Ditiru”
• Iklan Yang Menggunakan Suara Menjijikkan atau Mengerikan Hanya Boleh Disiarkan Kepada Khalayak dan di Waktu Tertentu

11. Sangsi dan Prosedurnya
• Bentuk sangsi adalah bertahap dimulai (1) peringatan kepada pelanggar dan asosiasinya hingga dua kali (2) penghentian penyiaran atau pengeluaran rekomendasi untuk itu kepada lembaga terkait setelah diberi batas waktu. Penyampaian sangsi dilakukan secara tertulis.
• Prosedurnya : DPI menerima pengaduan atau memperoleh informasi pelangaran dari pantauan dan laporan masyarakat. DPI melayani keberatan dan memberikan sangsi
.


Baca artikel selengkapnya ....
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Academics Blogs Academics Top Blogs blogarama - the blog directory Submit your website to 20 Search Engines - FREE with ineedhits! Media Promosi

  © Blogger template Brownium by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP