Iklan : Kode Etik VS Kreatifitas
Friday, April 8, 2011
Sering sekali kita melihat berbagai brand menawarkan produknya, baik melalui media elektronik maupun media cetak. Dengan tagline yang powerfull, dan janji-janji yang menggiurkan mereka berusaha mempengaruhi para konsumen. Tidak jarang konsumen langsung terpengaruh dengan iklan-iklan yang seperti itu. Iklan dengan kata-kata Superlatif memang lebih baik dalam mempengaruhi konsumen dari pada yang tidak mengunakan kata Superlatif.
Dalam EPI ( Etika Pariwara Indonesia ) jika produk tersebut menggunakan kata-kata yang Superlatif tanpa dilandasi alasan-alasan yang jelas sebenarnya mereka sudah melanggar kode etik. “1.2.2 Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, “top”, atau kata-kata berawalan “ter”, dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik“.
Tidak hanya kata-kata yang Superlatif, namun mengejek pesaing dll juga merupakan pelanggaran kode etik dalam pariwara . “1.2.1 Merendahkan : Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung”.
Kalau dilihat dari EPI ( Etika Pariwara Indonesia ), sering kali kita melihat iklan yang ada di media cetak maupun di media elektronik banyak yang melanggar kode etik. Tidak di pungkiri lagi hal ini memang menjadi senjata andalan untuk menarik para konsumen. Terbaik, termurah, dsb memang terlihat lebih menguntungkan kita sebagai konsumen.
Jika kita melihat di perempatan jalan terdapat berbagai baliho yang mengganggu pemandangan. Baliho yang menumpuk-numpuk terlihat tidak memiliki estetika. Seperti baliho yang pernah saya lihat, ada dua baliho dengan Produk sama tetapi merk berbeda yang di pasang berjejer. Pada baliho merk “A” terdapat tagline yang menyebutkan bahwa produk mereka lebih baik dari pada produk disampingnya ( Merk ” B ” ). Tanpa disadari iklan seperti itu sudah merendahkan merk lain meskipun tidak menyebutkan merk tertentu.
Disisi lain dengan adanya EPI ( Etika Pariwara Indonesia ) seperti ingin mematikan kretifitas para sines iklan. Mereka seperti tidak boleh berpikir liar dan mengeksplor semua kreatifitas. Tapi seharusnya mereka juga harus menaati peraturan yang ada.
Dalam dunia periklanan aspek kreatif para pembuat iklan sepertinya sedang di uji. Para pembuat iklan harus lebih berhati-hati dalam membuat iklan. Mereka juga harus berpikir lebih keras bagaimana menggaet konsumen yang baik. Dengan adanya EPI ( Etika Pariwara Indonesia ) bukan berarti kreatifitas mereka di buat mati. Tetapi kreatifitas mereka di tantang bagaimana membuat iklan kreatif tanpa harus melanggar EPI ( Etika Pariwara Indonesia ).
Sumber : http://blog.umy.ac.id/priambodo18/2010/11/22/3/
.
0 comments:
Post a Comment