Showing posts with label Iklan Televisi. Show all posts
Showing posts with label Iklan Televisi. Show all posts

Membuat Iklan TV (=tipi)

Sunday, January 1, 2012

Televisi merupakan media audiovisual yang canggih. Dengan menggunakan dua elemen kekuatan sekaligus yaitu audio dan visual menjadikan televisi sebagai media promosi yang sangat mahal. Sebuah tayangan 60 detik saja akan dapat disaksikan serentak oleh puluhan juta bahkan ratusan ribuan juta pasang mata di seluruh dunia.

Program di televisi memiliki kekhasan tertentu yang mempengaruhi pemirsanya. Dengan demikian, pemirsa terbagi pada program televisi yang disukainya. Misalnya, acara film anak-anak pada pagi dan petang hari menjangkau khalayak anak-anak. Acara memasak, sinetron, dan kesehatan menjangkau ibu-ibu rumah tangga. Dan acara diskusi politik, berita, film-film detektif menjangkau para pria berpendidikan.

Yang jelas media televisi merupakan media audiovisual sehingga estetika yang dituntut menyangkut indra pendengaran dan penglihatan. Untuk itu copywriting untuk iklan televisi memiliki karakteristik tertentu.

Rancangan untuk iklan di media ini, disamping memuat pesan iklan yang verbal untuk diperdengarkan, juga memuat visual (gambar) untuk diperlihatkan kepada pemirsa. Oleh karena itu, rancangan iklan televisi, memuat:

1. Script yang terdiri dari dua kolom.
a. Satu kolom sebelah kiri dibuat untuk melukiskan rentetan adegan.
Kolom kiri ini disebut dengan judul visual atau video.
b. Kolom sebelah kanan dibuat untuk menjelaskan suara apa saja yang harus atau akan terdengar pada saat visual ditampilkan.
Script ini merupakan panduan untuk membuat storyboard.

2. Gambar
Gambar yang ditampilkan produk yang ditawarkan, gambar orang, kartun, maupun adegan lain sesuai dengan jalannya cerita yang tertera dalam script.

Rancangan iklan televisi yang memuat script dan gambar inilah yang disebut dengan storyboard. Stor board ini merupakan panduan bagi film director atau sutradara pada saat shooting dilaksanakan. Gambar-gambar dalam storyboard menggambarkan lajur visual dalam script. Sedangkan teks (yang dalam storyboard biasanya ditulis di bawah atau disamping gambar) melukiskan kolom atau lajur audio/sound dalam script.

Menulis script sebaiknya jangan terlalu rinci dalam hal teknik pengambilan gambar, agar tidak membatasi kebebasan sutradara atau kameraman dalam melakukan pengambilan gambar. Gambar-gambar yang ada pada storyboard hanyalah key frames (gambar utama dari serangkaian adegan).

Dalam satu detik, film bergerak terdiri dari 24 -25 frame. Tidak mungkin storyboard dibuat untuk memenuhi tuntutan tersebut. Jumlah 24-25 frame tersebut disebut kecepatan normal untuk mata manusia. Bila kurang dari jumlah tersebut, hasil filmnya akan menjadi film berkecepatan lamban (slow motion). Jika kebetulan copywriter memang menguasai bidang kamera, sebaiknya dibicarakan secara lisan dengan sutradara.

Memang idealnya, seorang copywriter iklan televisi, mengenal atau mempelajari bagaimana membuat film. Dia harus tahu teknik dasar menggunakan kamera (termasuk istilah-istilahnya) agar mampu meningkatkan kreativitas dalam menciptakan film iklan. Kecuali itu, pengetahuan ini diperlukan agar nantinya ketika storyboard itu diproduksi, ia dapat mengerti penjelasan dari sutradara dan biasa berkomunikasi dengan kameraman di lapangan. Bahkan sampai hasil shooting itu diedit, ia mampu berdiskusi dengan editor film.

Berikut ini peralatan untuk memproduksi iklan televisi:
1. Tokoh, dapat terdiri dari bintang film, tokoh masyarakat, anak-anak, ataupun tokoh kartun yang mampu mendukung gambaran brand.
2. Suara manusia atau voice biasanya disingkat VO. Suara manusia terdiri dari suara perempuan atau female voice yang disingkat FVO dan suara laki-laki male voice yang disingkat MVO
3. Musik
4. Lagu/jingle
5. Sound effect (SFX)
6. Visual effect
7. Super (super imposed), yaitu huruf, tulisan, atau gambar grafis yang dimunculkan atau dicetak di atas gambar. Biasanya super menampilkan nama atau merk produk, nama perusahaan, slogan, dan lain-lain dengan maksud melengkapi atau memperjelas pesan.
8. Warna

Sumber : http://ramakertamukti.wordpress.com/2011/06/15/membuat-iklan-tv-tipi/


Baca artikel selengkapnya ....

Adakah yang Lebih Efektif dari Beriklan di TV?

Tuesday, June 21, 2011

Iklan dalam bisnis adalah hal yang tak terpisahkan. Untuk beriklan, perusahaan tak segan mengeluarkan anggaran sebanyak-banyaknya. Berdasarkan penelitian dari para pakar bisnis, biaya promosi, termasuk iklan di dalamnya bisa mencapai 80 persen dari biaya produksi. Sebagian pebisnis menganggap iklan TV sebagai media beriklan yang paling tepat. Seberapa efektif iklan yang kita tayangkan di TV? Pertanyaan berikutnya adalah, adakah media iklan yang jauh lebih efektif dari iklan TV? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita bahas lebih mendalam. Iklan TV akan sangat efektif manakala spot iklan tersebut ditayangkan di waktu primer siaran TV, sekitar pukul 19.00 hingga pukul 22.00. Jam tersebut merupakan jam primadona siaran TV di mana diasumsikan penonton terkonsentrasi pada jam tersebut.

Sayang sekali, kebiasaan penonton TV di Indonesia adalah memilih memindah TV ke saluran lain di saat iklan ditayangkan. Efektivitas iklan TV sangat dipertanyakan di sini mengingat biaya pasang iklan pada waktu primer jelas sangat mahal dibanding waktu lain. Mengingat efektivitas iklan TV yang meragukan, lantas alternatif beriklan seperti apa yang bisa ditempuh oleh pengusaha? Salah satu metode iklan yang dianggap cukup efektif adalah ber iklan dengan pamflet. Tentu, untuk meningkatkan efektivitas dari pamflet ini, pengusaha perlu sedikit lebih kreatif. Anda dapat menyertakan program diskon khusus dengan menunjukkan pamflet tersebut. Cara ini dipandang memiliki efektivitas lebih baik dibandingkan tingkat efektivitas iklan tv.

Menggunakan pamflet jauh lebih efektif dibanding dengan memasang iklan di TV karena beberapa hal. Pertama, biaya pasang iklan di TV jauh lebih mahal dibanding biaya pembuatan pamflet. Kedua, durasi iklan di TV hanya beberapa detik, sementara pamflet bisa bertahan jauh lebih lama. Ketiga, iklan di TV hanya bisa dilihat saat calon konsumen menonton TV, sementara pamflet bisa diberikan pada siapa saja dan di mana saja. Jadi, daripada Anda menghabiskan banyak anggaran promosi hanya untuk biaya pasang iklan di TV, akan lebih baik Anda mengalihkan dana pasang iklan tersebut pada metode beriklan yang lain, dengan menggunakan pamflet. Biaya pembuatan pamflet serta biaya penyebarannya jauh lebih murah dibanding biaya pasang iklan di TV.

Sumber : http://bengkelbisnis.com/pemasaran/adakah-yang-lebih-efektif-dari-beriklan-di-tv/
.


Baca artikel selengkapnya ....

Studi Wacana Iklan Komersial di TV

Friday, June 17, 2011

Wacana Iklan Komersial (WIK) di TV dinilai efektif. Jika, dibanding iklan di media lain, WIK di TV memiliki beberapa kelebihan, diantaranya : (i) sifatnya yang audiovisual, (ii) adanya jingle dan sound track, (iii) diperagakan oleh bintang iklan (model iklan) dan (iv) cara-cara penyampaian pesan yang sangat bervariasi.

Demikian salah satu simpulan hasil penelitian Drs B Wahyudi Joko Santoso M Hum, terhadap 70 responden di kalangan dosen, karyawan dan mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES). Staf pengajar Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni UNNES mengutarakan simpulan tersebut, saat ujian doktor bidang ilmu linguistik, di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis, (16/11).

“Dengan demikian, fungsi konatif, berupa fungsi komunikasi bahasa yang berpusat pada addressee cukup ampuh dan mengena di hati sebagian besar pemirsa yang menjadi responden penelitian ini, dan sangat dimungkinkan dirasakan pula sebagian pemirsa TV di Indonesia,” ujar Wahyudi Joko Santoso.

Sebagai salah satu jenis (genre) wacana bisnis, promovendus juga menyimpulkan, jika WIK di TV memiliki ciri-ciri iklan yang kreatif, persuasif, provokatif, massal, nonpersonal dan tidak langsung. Sehingga, ia tidak hanya sekedar memberi informasi komersial, namun lebih menjual, yaitu dengan cara mengusik emosi dan pikiran pemirsa baik secara verbal maupun nonverbal, baik langsung maupun tidak langsung dengan disertai janji-janji.

Lebih lanjut, Ketua Bidang Penalaran Asosiasi Perhimpunan Pengajar Bahasa Perancis di Indonesia ini, mengatakan, bahwa eksistensi iklan ditelevisi, di satu sisi memberi informasi dan hiburan, di sisi lain iklan TV memberi dampak negatif, seperti pengaruh perubahan pola pikir, sikap dan perilaku. Oleh karena itu, Wahyudi Joko Santoso menyarankan, agar masyarakat jangan mudah termakan iklan, karena realitas sosial dalam iklan berbanding terbalik dengan realitas kemasyarakatan.

“Artinya apa, yang dijanjikan tidak sama dengan realita di lapangan. Misalnya, iklan pemutih wajah, hampir tidak mungkin diterapkan pada wajah seseorang yang coklat apalagi hitam. Toh kalaupun bisa, meski berhati-hati karena dampak negatifnya. Karena iklan tidak sekedar menawarkan barang/jasa, namun juga menjual janji dan mimpi-mimpi yang belum tentu sesuai pemirsa,” tambah dosen linguistik dan bahasa Perancis UNNES dalam pesannya.

Setelah mempertahankan desertasi berjudul “Wacana Iklan Komersial Berbahasa Indonesia di Televisi”, pria kelahiran Klaten 26 oktober 1961 ini, dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, sekaligus menjadi doktor ke-778 yang diluluskan UGM. (Humas UGM).

Sumber : http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=533
.


Baca artikel selengkapnya ....

Pengaruh Iklan Di Televisi Terhadap Masyarakat

Monday, May 9, 2011

Iklan begitu akrab dengan kehidupan kita. Mulai dari bangun tidur, beraktifitas di rumah, keluar rumah, ditempat kerja, sampai kita pulang lagi ke rumah dan tidur, berapa banyak iklan yang kita saksikan?! Lalu berapa banyak iklan yang dapat mempengaruhi kita sehingga kita tertarik untuk membeli produk/ jasa yang ditawarkan. Iklan adalah senjata paling ampuh untuk mempengaruhi konsumen. Yang sebelumnya tidak tertarik dengan sebuah produk, namun karena iklan yang ditayangkan begitu gencarnya sehingga lama-kelamaan tertarik dan ingin mencobanya.

Kita tentu masih ingat ketika acara reality show AFI (Akademi fantasi Indosiar) sedang berada di puncak rating. Acara tersebut disponsori oleh produk Indomie dari Indofood. Iklan dibawakan oleh para akademia (peserta AFI) dengan berbagai varian model iklan baik secara langsung maupun tidak langsung. Saya mendengar sendiri dari pemirsa yang asyik mengikuti setiap episode bahwa dia tertarik untuk membeli dan mencoba Indomie karena penasaran dengan gencarnya iklan yang ditayangkan tersebut.

Seperti dikatakan praktisi periklanan dari Inggris yang mendefenisikan periklanan adalah pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang diarahkan kepada para calon pembeli yang paling potensialatas produk barang atau jasa tertentu dengan biaya yang semurah-murahnya1. Kegiatan periklanan memang bisa menelan biaya ratusan juta dan bahkan miliar rupiah, namun selama didasarkan pada tujuan dan perhitungan yang serba jelas maka akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Data Nielsen Media Research (NMR) tentang tren belanja iklan lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan secara signifikan tiap tahunnya. Perhitungan yang dilakukan tanpa pertimbangan diskon dari berbagai media yang digunakan, baik media konvensional ataupun non konvensional tercatat belanja iklan terus melonjak dari Rp 7,123 triliun (2000), Rp 9,084 triliun (2001), Rp 12,368 triliun (2002), Rp 16,801 triliun (2003), Rp 22, 211 triliun (2004), Rp 25,580 triliun (2005) dan Januari-September 2006 baru mencapai Rp 21,489 triliun. Sementara data dari Adquest Millenium dalam periode yang sama, tanpa menghitung iklan layanan masyarakat dan media non komersial menunjukkan, perkembangan belanja iklan mengalami pertumbuhan yang menurun (drecreasing trend) jika dilihat gross advertising expenditure sejak tahun 2000 hingga 2004 selalu naik di atas 25 persen, tetapi pertumbuhannya hanya 17 persen (lihat dalam tabel tren belanja iklan red), sedangkan di tahun 2006 kemungkinan besar tidak ada pertumbuhan. Pergerakan ini tentunya dipengaruhi faktor makro ekonomi yang kurang menguntungkan di akhir tahun 2005 seiring kenaikan harga bahan bakar minyak yang terus melonjak.

Masih dari data Nielsen Media Research, media televisi maraup iklan sebesar 70%, atau senilai Rp 16,22 triliun. Pada semester I tahun 2006 ini, belanja iklan televisi sebesar Rp 9,2 triliun atau 68% dari total belanja iklan secara nasional, atau sebesar Rp 13,6 triliun. Sungguh merupakan angka yang fantastis besarnnya, yang menimbulkan semakin banyaknya bermunculan televisi-televisi swasta nasional.

Sumber : http://warto.wordpress.com/
.


Baca artikel selengkapnya ....

Iklan Televisi dan Cuci Otak

Friday, May 6, 2011

PantonaNews.com - Iklan sangat berkaitan erat dengan kehidupan setiap orang. Baik menyangkut iklan komersial atau iklan layanan masyarakat senantiasa mempengaruhi proses pengambilan keputusan seseorang dalam memilih atau menjauhi suatu barang atau jasa.

Sebenarnya iklan adalah pesan atau berita yang memiliki tujuan memberitahu masyarakat mengenai suatu produk atau jasa yang dihasilkan sebuah perusahaan. Dalam hal ini kepemilikannya siap dialihkan melalui proses jual beli.

Kalau iklan yang sifatnya layanan masyarakat, tentu saja tidak ada proses jual beli, hanya sekedar informasi dan edukasi, dengan tujuan mengubah sikap dan persepsi masyarakat mengenai suatu hal, misalnya narkoba, sampah, hemat listrik, dan sebagainya.

Iklan harus cerdas, hangat, jelas dan mudah dicerna, selain itu juga harus mampu mengubah opini bahkan sikap masyarakat, terutama dalam keputusan membeli suatu produk dengan merk tertentu. Dengan demikian manajemen dan teknologi periklanan sangat berpengaruh terhadap efektivitas sebuah iklan.

Iklan menjadi bagian dari strategi promosi perusahaan yang paling penting. Tak heran belanja iklan secara nasional terus meningkat, jika pada tahun 2008 mencapai Rp. 41, 7 triliun, Rp. 2009 sebesar 48,5 triliun, maka 2010 melonjak jadi Rp. 62 triliun. Di mana sekitar 60 persen diserap televise, sisanya menyebar ke media cetak, radio dan media online.

Pada dasarnya iklan adalah proses memperkenalkan, mempengaruhi, mendorong, membujuk, bahkan cuci otak. Televisi merupakan media yang paling efektif untuk proses cuci otak, karena melibatkan indera penglihatan dan pendengaran. Dengan gambar hidup dan animasi yang menarik makin memudahkan dicerna oleh sasaran iklan.

Selain menjadi media hiburan dan informasi, televisi juga merupakan media cuci otak, terutama dalam hal periklanan. Sangat efektif memang, secara gencar sebuah iklan terus-menerus ditayangkan, terutama pada malam hari. Kenapa malam hari, karena pada saat itu kondisi alam sadar sudah kelelahan, sehingga pesan dengan gampang menembus alam bawah sadar.

Kenapa iklan berulang-ulang? Supaya tertanam kuat di alam bawah sadar setiap orang. Menurut James K. Van Fleet dalam bukunya “25 Steps to Power and mastery Over People”, paling tidak diperlukan minimal 38 pengulangan untuk menanamkan suatu pesan ke dalam ingatan seseorang. Yang terpenting dari sebuah iklan ialah bagaimana supaya brand atau merk produk tertanam kuat dalam ingatan seseorang.

Proses cuci otak berlangsung secara terus-menerus, meskipun sasaran iklan tertidur pulas di dekat televisi. Ya, meskipun tidur, namun alam bawah sadar bekerja terus.

Selain tampilan dan kemasan iklan yang menarik, penayangan iklan pun harus tepat, terutama pada acara televisi yang menarik dan banyak penontonnya. Tak heran jika harga slot iklan di sebuah sinetron mencapai Rp 50 juta/spot 30 second. Makin menarik sebuah acara televisi, ditandai dengan tingginya rating (persentasi rumah atau individu yang menyaksikan acara tertentu dalam suatu periode tertentu), maka makin banyak pemasang iklan.

Ternyata alam sadar dan alam bawah sadar setiap orang, akan lebih mudah menyerap pesan dalam kondisi dirinya sedang tertarik, konsentrasi dan focus pada sebuah tayangan. Dengan demikian proses cuci otak pun berlangsung lebih leluasa. (Atep Afia)

Sumber : http://pantonanews.com/
.


Baca artikel selengkapnya ....

Logika Iklan Televisi

Friday, April 29, 2011

Simaklah beberapa contoh iklan di televisi yang saya anggap “bermasalah”. Contoh pertama, ada orang memakai produk yang diiklankan itu langsung bisa membuatnya terbang mengambang. Contoh kedua, ada orang memakai produk yang diiklankan itu sehingga suaranya menjadi begitu lantang sehingga bisa meledakkan lampu-lampu yang berjajar di taman, memecahkan kaca bis yang lewat, bahkan juga bisa memecahkan kacamata orang tua yang mau menyetop bis itu. Atau pada contoh ketiga, ada orang memakai produk yang diiklankan itu bisa membuat orang tiba-tiba mendadak mau bersahabat dengannya hanya karena memakai sebuah produk yang diiklankan itu.

Itu baru sebagian contoh saja betapa banyak iklan televisi telah “bermasalah” karena seenaknya saja mempermainkan logika. Mari kita cermati contoh iklan di atas; contoh pertama, ada orang memakai produk yang diiklankan itu langsung bisa membuat terbang mengambang sangat mustahil terjadi, tidak mengindahkan hukum alam yaitu adanya grafitasi, ini upaya pembodohan pada calon konsumen; contoh selanjutnya dengan suara lantang itu, apa bisa seperti “bom” yang bersifat meledakkan? Para ahli vokal bisa tersinggung dengan keabsahan suara lantang, ini upaya pengingkaran ilmu vokal.

Begitu juga contoh pada orang yang memakai produk bisa membuat orang menjadi mau bersahabat sangat membuat kita miris hati, menunjukkan kehidupan over konsumtif, para pakar ilmu sosial pun pasti menyangkal. Ini bisa mengakibatkan kesejangan sosial makin tajam, yang bisa berarti orang mau bersahabat karena mau memakai produk yang diiklankan.

Iklan memang laksana “nyawa” bagi televisi swasta, karena tanpa iklan maka bisa dipastikan televisi swasta itu tidak akan “hidup”. Kalau ini hubungannya hanya sekedar materi, maka tidak akan sampai makna hakiki dari “nyawa” itu. Harus ada hubungan spiritual yang mutualisma, saling memberi saling menerima, kalaulah iklan tidak sesuai dengan kaidah ilmiah maka televisi harus berani menolak, ini dalam rangka mendidik masyarakat penontonnya. Demikian juga iklan harus mau “tahu diri” akan media yang digunakannya. Bahwasannya televisi milik memang seluruh lapisan masyarakat; kaya-miskin, tingkat umur maupun latar pendidikan (keilmiahan yang mencerdaskan).

Iklan “menghidupi” televisi. Karena itu pertumbuhan televisi swasta senantiasa berkait dengan banyaknya iklan yang mampu diraup. Iklan adalah ibarat “kue” yang sangat lezat, bergizi, penuh manfaat, sehingga begitu diperebutkan oleh berbagai stasiun televisi swasta untuk bisa survive dalam persaingan pertelevisian. Banyaknya televisi swasta membuat para pemasang iklan kadang seperti berbuat semau gue, maka seringkali “dijewer” masyarkat lewat YLKI, dengan begitu televisi mendapat getahnya.

Televisi hakekatnya adalah dunia gagasan dan ide, kata Garin Nugroho, sang maestro sutradara kita. Menurutnya, kiat meramu iklan agar terus berkembang dengan nilai tambah sebagai salaha satu kuncinya. Televisi sebagai industri budaya pop, maka seperti layaknya jasa industri, setiap produk yang “tepat dan popular” cepat atau lambat akan menjadi “tidak tepat, menua dan usang”. Jadi bahan iklan harus diramu kembali sebelum usaitayangnya menjadi usang dan mati. Televisi harus mempunyai kemampuan membaca keusangan (masa kadaluarsa) yang berkait dengan ketertarikan masyarakat penonton televisinya, aktualisasi dan perbandingan yang proporsional antar iklan.

Televisi hadir di tanah air sekitar tahun 1962-an, waktu itu sebagai satu-satunya stasiun siaran televisi – yang dulu ketergantungan dari iklan, setelah diadopsi pemerintah menjadi ketergantungan pemerintah, karena era reformasi apa mandiri? – kini di tahun 2001, banyaknya televisi swasta, yaitu RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, Anteve, MetroTV, Trans-TV, TV7, TVOne, Global-TV. Dengan begitu bagaimanakah yang terjadi dengan iklan? Iklan tentu dituntut kedewasaan membuat iklan, dalam hal ini penggagasnya.

Para penggagas iklan tidak melihat penonton televisi sebagai berwajah tunggal, seragam dan satu dimensi, tapi harus dinamis dan cepat berubah. Setiap satuan acara yang berbeda menciptakan penonton dan iklan yang berbeda pula, yang tidak tergantung pada tekanan rating, tapi dikembalikan pada karakter, citra, satuan acara dan penonton yang dituju (Garin Nugoho: 1995).

Tenaga kreatif penggagas iklan tidakperlu takut harus meraih penonton yang seluas-luasnya, sebab ada produk iklan tertentu yang harus dijembatani dengan satuan acara yang punya citra tertentu pula. Hal ini akan menciptakan dinamika pilihan bagi para pencipta gagasan, penonton, dan iklan, sekaligus akan melahirkan kreator-kreator baru.

Masihkah ingat dengan kata “Belum Tahu Dia?” dari sebuah iklan produk obat flu, yang pernah memenangkan sebuah penghargaan kompetisi periklanan bergengsi “Citra Pariwara” pada beberapa tahun yang lalu. “Belum Tahu Dia?” sebagai kosa kata yang mendidik dengan kata “tahu”-nya itu. Ini ilmiah. Bisa dipertanggungjawabkan. Keingintahuan ini merangsang image dari calon konsumen, apa gerangan produk itu yang demikian cerdas mengiklankannya, yaitu mendorong, membujuk dan memberitahukan.

Kosa kata “Belum Tahu Dia?” acapkali diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga orang malu kalau tidak tahu sesuatu, maka ia harus mencari tahu sesuatu itu dengan belajar. Istilah “kuper” yang berarti “kurang perhatian” akan luntur juga dengan sendirinya. Orang-orang pun dipacu agar tahu, berkait dengan 5 W; What? (apa?), Who? (siapa?), Which? (mengapa?), Why? (kenapa?), dan Where? (dimana?), yang kesemuanya itu bagaikan berbagai pertanyaan tajam yang diluncurkan dari berbagai penjuru arah yang menghujami orang-orang yang begitu penuh hasrat rasa keingintahuannya.

Masihkah ingat dengan iklan “Menembus batas”? ada sebuah cerita menarik dari “kampus hijau sawo kecik” Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) di Kompleks nDalem Mangkubumen Kraton Yogyakarta, dimana kata “Menembus Batas” memacunya untuk mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya, maka berbagai kiat ditempuhnya dalam persaingan antar perguruan tinggi swasta di Yogyakarta yang sangat ketat, tapi akhirnya target penerimaan mahasiswa baru di UWMY bisa benar-benar “menembus batas” artinya bisa melebihi apa yang ditargetkan. Maka serta merta dipasanglah sebuah spanduk besar bertuliskan “Menembus Batas”, yang dipacu oleh sebuah iklan yang mencerdaskan tersebut, bukannya iklan yang mempermainkan logika belaka.

Ketika iklan televisi hanya mempermainkan logika, maka yang terjadi penonton televisi cenderung pasif, karena tidak adanya hubungan interaktif di dalamnya. Peran serta para penggagas iklan sebagai tim kreatifnya sangat dibutuhkan dalam rangka ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan begitu juga ada timbal balik di mana konsumen produk dari yang diiklankan itu secara langsung maupun tidak langsung produsennya ditingkatkan taraf kehidupan, karena laris manisnya produk tersebut dari berhasilnya iklan mempermainkan logika secara proporsional dengan kenyataannya. Jadi harus ada pertanyaan dan jawaban sekaligus, apa iklan itu kalau bukan demi konsumen? Televisi dan penontonnya berkomunikasi, saling mengisi - saling memberi.

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/
.


Baca artikel selengkapnya ....

Format Iklan Televisi

Wednesday, August 18, 2010

Rancangan untuk iklan di media ini, disamping memuat pesan iklan yang verbal untuk diperdengarkan, juga memuat visual (gambar) untuk diperlihatkan kepada pemirsa. Oleh karena itu, rancangan iklan televisi, memuat:

1. Script yang terdiri dari dua kolom.
a. Satu kolom sebelah kiri dibuat untuk melukiskan rentetan adegan. Kolom kiri ini disebut dengan judul visual atau video.

b. Kolom sebelah kanan dibuat untuk menjelaskan suara apa saja yang harus atau akan terdengar pada saat visual ditampilkan. Script ini merupakan panduan untuk membuat storyboard.

2. Gambar
Gambar yang ditampilkan produk yang ditawarkan, gambar orang, kartun, maupun adegan lain sesuai dengan jalannya cerita yang tertera dalam script.

Rancangan iklan televisi yang memuat script dan gambar inilah yang disebut dengan storyboard. Stor board ini merupakan panduan bagi film director atau sutradara pada saat shooting dilaksanakan. Gambar-gambar dalam storyboard menggambarkan lajur visual dalam script. Sedangkan teks (yang dalam storyboard biasanya ditulis di bawah atau disamping gambar) melukiskan kolom atau lajur audio/sound dalam script.

Menulis script sebaiknya jangan terlalu rinci dalam hal teknik pengambilan gambar, agar tidak membatasi kebebasan sutradara atau kameraman dalam melakukan pengambilan gambar. Gambar-gambar yang ada pada storyboard hanyalah key frames (gambar utama dari serangkaian adegan)

Dalam satu detik, film bergerak terdiri dari 24 -25 frame. Tidak mungkin story board dibuat untuk memenuhi tuntutan tersebut. Jumlah 24-25 frame tersebut disebut kecepatan normal untuk mata manusia. Bila kurang dari jumlah tersebut, hasil filmnya akan menjadi film berkecepatan lamban (slow motion). Jika kebetulan copywriter memang menguasai bidang kamera, sebaiknya dibicarakan secara lisan dengan sutradara.

Memang idealnya, seorang copywriter iklan televisi -- mengenal atau mempelajari bagaimana membuat film. Dia harus tahu teknik dasar menggunakan kamera (termasuk istilah-istilahnya) agar mampu meningkatkan kreativitas dalam menciptakan film iklan. Kecuali itu, pengetahuan ini diperlukan agar nantinya ketika storyboard itu diproduksi, ia dapat mengerti penjelasan dari sutradara dan biasa berkomunikasi dengan kameraman di lapangan. Bahkan sampai hasil shooting itu diedit, ia mampu berdiskusi dengan editor film.
.


Baca artikel selengkapnya ....
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Academics Blogs Academics Top Blogs blogarama - the blog directory Submit your website to 20 Search Engines - FREE with ineedhits! Media Promosi

  © Blogger template Brownium by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP