Logika Iklan Televisi
Friday, April 29, 2011
Simaklah beberapa contoh iklan di televisi yang saya anggap “bermasalah”. Contoh pertama, ada orang memakai produk yang diiklankan itu langsung bisa membuatnya terbang mengambang. Contoh kedua, ada orang memakai produk yang diiklankan itu sehingga suaranya menjadi begitu lantang sehingga bisa meledakkan lampu-lampu yang berjajar di taman, memecahkan kaca bis yang lewat, bahkan juga bisa memecahkan kacamata orang tua yang mau menyetop bis itu. Atau pada contoh ketiga, ada orang memakai produk yang diiklankan itu bisa membuat orang tiba-tiba mendadak mau bersahabat dengannya hanya karena memakai sebuah produk yang diiklankan itu.
Itu baru sebagian contoh saja betapa banyak iklan televisi telah “bermasalah” karena seenaknya saja mempermainkan logika. Mari kita cermati contoh iklan di atas; contoh pertama, ada orang memakai produk yang diiklankan itu langsung bisa membuat terbang mengambang sangat mustahil terjadi, tidak mengindahkan hukum alam yaitu adanya grafitasi, ini upaya pembodohan pada calon konsumen; contoh selanjutnya dengan suara lantang itu, apa bisa seperti “bom” yang bersifat meledakkan? Para ahli vokal bisa tersinggung dengan keabsahan suara lantang, ini upaya pengingkaran ilmu vokal.
Begitu juga contoh pada orang yang memakai produk bisa membuat orang menjadi mau bersahabat sangat membuat kita miris hati, menunjukkan kehidupan over konsumtif, para pakar ilmu sosial pun pasti menyangkal. Ini bisa mengakibatkan kesejangan sosial makin tajam, yang bisa berarti orang mau bersahabat karena mau memakai produk yang diiklankan.
Iklan memang laksana “nyawa” bagi televisi swasta, karena tanpa iklan maka bisa dipastikan televisi swasta itu tidak akan “hidup”. Kalau ini hubungannya hanya sekedar materi, maka tidak akan sampai makna hakiki dari “nyawa” itu. Harus ada hubungan spiritual yang mutualisma, saling memberi saling menerima, kalaulah iklan tidak sesuai dengan kaidah ilmiah maka televisi harus berani menolak, ini dalam rangka mendidik masyarakat penontonnya. Demikian juga iklan harus mau “tahu diri” akan media yang digunakannya. Bahwasannya televisi milik memang seluruh lapisan masyarakat; kaya-miskin, tingkat umur maupun latar pendidikan (keilmiahan yang mencerdaskan).
Iklan “menghidupi” televisi. Karena itu pertumbuhan televisi swasta senantiasa berkait dengan banyaknya iklan yang mampu diraup. Iklan adalah ibarat “kue” yang sangat lezat, bergizi, penuh manfaat, sehingga begitu diperebutkan oleh berbagai stasiun televisi swasta untuk bisa survive dalam persaingan pertelevisian. Banyaknya televisi swasta membuat para pemasang iklan kadang seperti berbuat semau gue, maka seringkali “dijewer” masyarkat lewat YLKI, dengan begitu televisi mendapat getahnya.
Televisi hakekatnya adalah dunia gagasan dan ide, kata Garin Nugroho, sang maestro sutradara kita. Menurutnya, kiat meramu iklan agar terus berkembang dengan nilai tambah sebagai salaha satu kuncinya. Televisi sebagai industri budaya pop, maka seperti layaknya jasa industri, setiap produk yang “tepat dan popular” cepat atau lambat akan menjadi “tidak tepat, menua dan usang”. Jadi bahan iklan harus diramu kembali sebelum usaitayangnya menjadi usang dan mati. Televisi harus mempunyai kemampuan membaca keusangan (masa kadaluarsa) yang berkait dengan ketertarikan masyarakat penonton televisinya, aktualisasi dan perbandingan yang proporsional antar iklan.
Televisi hadir di tanah air sekitar tahun 1962-an, waktu itu sebagai satu-satunya stasiun siaran televisi – yang dulu ketergantungan dari iklan, setelah diadopsi pemerintah menjadi ketergantungan pemerintah, karena era reformasi apa mandiri? – kini di tahun 2001, banyaknya televisi swasta, yaitu RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, Anteve, MetroTV, Trans-TV, TV7, TVOne, Global-TV. Dengan begitu bagaimanakah yang terjadi dengan iklan? Iklan tentu dituntut kedewasaan membuat iklan, dalam hal ini penggagasnya.
Para penggagas iklan tidak melihat penonton televisi sebagai berwajah tunggal, seragam dan satu dimensi, tapi harus dinamis dan cepat berubah. Setiap satuan acara yang berbeda menciptakan penonton dan iklan yang berbeda pula, yang tidak tergantung pada tekanan rating, tapi dikembalikan pada karakter, citra, satuan acara dan penonton yang dituju (Garin Nugoho: 1995).
Tenaga kreatif penggagas iklan tidakperlu takut harus meraih penonton yang seluas-luasnya, sebab ada produk iklan tertentu yang harus dijembatani dengan satuan acara yang punya citra tertentu pula. Hal ini akan menciptakan dinamika pilihan bagi para pencipta gagasan, penonton, dan iklan, sekaligus akan melahirkan kreator-kreator baru.
Masihkah ingat dengan kata “Belum Tahu Dia?” dari sebuah iklan produk obat flu, yang pernah memenangkan sebuah penghargaan kompetisi periklanan bergengsi “Citra Pariwara” pada beberapa tahun yang lalu. “Belum Tahu Dia?” sebagai kosa kata yang mendidik dengan kata “tahu”-nya itu. Ini ilmiah. Bisa dipertanggungjawabkan. Keingintahuan ini merangsang image dari calon konsumen, apa gerangan produk itu yang demikian cerdas mengiklankannya, yaitu mendorong, membujuk dan memberitahukan.
Kosa kata “Belum Tahu Dia?” acapkali diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga orang malu kalau tidak tahu sesuatu, maka ia harus mencari tahu sesuatu itu dengan belajar. Istilah “kuper” yang berarti “kurang perhatian” akan luntur juga dengan sendirinya. Orang-orang pun dipacu agar tahu, berkait dengan 5 W; What? (apa?), Who? (siapa?), Which? (mengapa?), Why? (kenapa?), dan Where? (dimana?), yang kesemuanya itu bagaikan berbagai pertanyaan tajam yang diluncurkan dari berbagai penjuru arah yang menghujami orang-orang yang begitu penuh hasrat rasa keingintahuannya.
Masihkah ingat dengan iklan “Menembus batas”? ada sebuah cerita menarik dari “kampus hijau sawo kecik” Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) di Kompleks nDalem Mangkubumen Kraton Yogyakarta, dimana kata “Menembus Batas” memacunya untuk mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya, maka berbagai kiat ditempuhnya dalam persaingan antar perguruan tinggi swasta di Yogyakarta yang sangat ketat, tapi akhirnya target penerimaan mahasiswa baru di UWMY bisa benar-benar “menembus batas” artinya bisa melebihi apa yang ditargetkan. Maka serta merta dipasanglah sebuah spanduk besar bertuliskan “Menembus Batas”, yang dipacu oleh sebuah iklan yang mencerdaskan tersebut, bukannya iklan yang mempermainkan logika belaka.
Ketika iklan televisi hanya mempermainkan logika, maka yang terjadi penonton televisi cenderung pasif, karena tidak adanya hubungan interaktif di dalamnya. Peran serta para penggagas iklan sebagai tim kreatifnya sangat dibutuhkan dalam rangka ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan begitu juga ada timbal balik di mana konsumen produk dari yang diiklankan itu secara langsung maupun tidak langsung produsennya ditingkatkan taraf kehidupan, karena laris manisnya produk tersebut dari berhasilnya iklan mempermainkan logika secara proporsional dengan kenyataannya. Jadi harus ada pertanyaan dan jawaban sekaligus, apa iklan itu kalau bukan demi konsumen? Televisi dan penontonnya berkomunikasi, saling mengisi - saling memberi.
Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/
.
0 comments:
Post a Comment