Iklan “BUILD IN” dalam Sudut Pandang Etika Pariwara di Indonesia
Thursday, January 13, 2011
Kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) sebenarnya sudah mengantisipasi hal ini dan sudah mencantumkan beberapa pasal yang mengatur iklan-iklan "build-in" khususnya di media Radio/Televisi (media elektronik). Bisa dibaca pada EPI Bab III.A.4.9.1 dan III.A.4.9.2, dimana prinsip yang digunakan adalah (sama dengan prinsip iklan advertorial pada media cetak); iklan harus dapat dibedakan dengan suatu berita atau isi program. Secara etika, kalau suatu iklan ditayangkan dalam format adlibs, maka si penyiar/pembawa acara harus memberikan pengantar sebelumnya bahwa informasi yang akan dibacakan berikutnya adalah suatu iklan. Pendekatan yang sama digunakan dalam mengatur gelar wicara (talk-show) yang tercantum dalam EPI Bab III.A.4.10. Jadi pada point ini, saya ingin menekankan bahwa dari sudut pandang EPI, suatu kampanye "build-in" suatu produk adalah sah-sah saja selama pemirsa/konsumen mendapatkan informasi yang jelas bahwa suatu bagian dari program tsb. adalah sponsor/kampanye dari suatu produk/jasa dan tidak dengan disengaja disamarkan dan/atau digabungkan dalam suatu program siaran.
Bila program itu berupa film (misalnya sinetron), untuk menghindari kesan "aneh" bila tiba2 aktor/aktrisnya harus mengatakan suatu dialog yg berhubungan dengan sponsorship tertentu, maka minimal dalam credit title di akhir film tsb. hal ini bisa dicantumkan.
Selain masalah di atas, maka saya akan masuk lebih dalam pada kasus yang ditulis AF di atas. Saya sangat setuju bahwa produk apapun juga yang menggunakan strategi berkampanye "build-in" seharusnya tetap mematuhi aturan/etika mengenai iklan produk/kategori produk tsb. Dalam kasus di atas, benar adanya bahwa untuk iklan obat-obatan (juga kosmetik dan produk-produk lainnya yang efeknya membutuhkan waktu tertentu), tidak diperkenankan memberikan kesan mempunyai dampak seketika (EPI Bab III.A.1.14). Selain itu, iklan/kampanye produk obat-obatan juga diwajibkan mencantumkan "warning": Baca Aturan Pakai dst. selain juga diwajibkan mencantumkan nama produsennya. Dalam suatu kampanye "build-in" petunjuk dan informasi ini juga wajib diucapkan oleh penyiar/pembawa acara.
Bila produk yang akan ditampilkan dalam bentuk "build-in" itu adalah iklan rokok atau produk yg ditujukan khusus bagi individu dewasa ("intimate product"), maka dianjurkan agar pemunculan program tsb adalah di atas pk. 21.30. Produk rokok juga diwajibkan mencantumkan/ menyebutkan "warning" sesuai aturan pemerintah.
Kasus iklan "build-in" memang sangat menarik. Satu hal yang pasti, strategi ini memang membuat proses penanyangan iklan menjadi jauh lebih singkat karena tidak ada proses produksi iklan (cukup dalam bentuk teks/brief saja) dan segala "tetek-bengek" di belakangnya (persetujuan atas ide dan eksekusi iklan, lay-out/story- board, tes via FGD dlsb), tidak ada proses sensor (via LSF unt. iklan TV) bahkan tidak perlu melaporkan ke BPOM untuk produk obat-obatan yang sebenarnya diwajibkan untuk melaporkan iklan/kampanyenya terlebih dahulu.
Kondisi 'singkat-mudah- murah' ini justru wajib kita cermati dengan hati-hati sekali karena akan muncul peluang yang relatif jauh lebih besar untuk terjadinya pelanggaran- pelanggaran etika di sini. Kuncinya ada di tangan produser dari program-program TV/radio yg disponsori tsb. Produser program harus memahami dengan benar etika beriklan dari suatu produk dan tidak semata-mata berorientasi finansial saja. Pihak produsen/pengiklan (dan media agencynya, bila brief untuk kampanye "build-in" ini datang darinya) juga harus benar-benar memahami apa saja resiko yang dihadapinya dgn melakukan proses 'short-cut' (dgn melakukan strategi "build-in" campaign) atas proses promosi produknya.
Sekedar mengingatkan bahwa pada UU RI No. 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 17 ayat 1f, mencantumkan bahwa: Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Dan pada Pasal 20-nya tercantum bahwa: Pelaku usaha periklanan bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang di timbulkan oleh iklan tersebut. Dalam konteks Pasal 20 ini, bila suatu kampanye "build-in" dibuat oleh suatu stasiun radio/TV, maka otomatis penanggungjawab utama dari "iklan build-up" tersebut adalah pihak stasiun radio/TV tsb.
Memang tidak akan mudah "menangkap" pelanggaran- pelanggaran etika pada suatu iklan "build-in" krn sifat pemunculannya bisa jadi hanya satu kali saja (kalaupun diulang, bisa jadi tidak akan bisa sama persis lagi), tidak seperti spot iklan radio/TV standard yang bisa berulang-ulang disiarkan dalam 1 hari. Tapi bukan berarti hal ini tidak mungkin. Setahu saya, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) selalu merekam penuh isi siaran TV. Dan saya tidak anjurkan kita "bermain-api" dengan mengambil asumsi "susah ditangkap" ini. Ya salah satu buktinya adalah email dari rekan AF tsb di atas, bukan?
Akhir kata, terimakasih banyak kepada bung AF atas masukannya dan semoga tulisan saya di atas dapat menjadi wacana diskusi lebih lanjut mengenai etika periklanan bagi rekan-rekan sekalian. Mari Ciptakan Pariwara Beretika!
Sumber : http://www.pppi.or.id/Iklan-BUILD-IN-dalam-Sudut-Pandang-Etika-Pariwara-di-Indonesia.html
.
0 comments:
Post a Comment