Sekilas Sejarah Periklanan Di Indonesia
Saturday, January 2, 2010
Tokoh periklanan pertama di Indonesia adalah Jan Pieterzoon Coen, orang Belanda yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1619-1629. Tokoh ini bukan hanya bertindak sebagai pemrakarsa iklan pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai pengiklan dan perusahaan periklanan. Bahkan dia pun menjadi penerbit “Bataviasche Nouvelle”, suratkabar pertama di Indonesia yang terbit tahun 1744, satu abad setelah J.P. Coen meninggal.
Iklan pertama yang diprakarsai J.P. Coen berupa pengumuman-pengumuman pemerintah Hindia Belanda berkaitan dengan perpindahan pejabat terasnya di beberapa wilayah. Namun dengan penerbitan suratkabar pertama yang memuat iklan itu, J.P. Coen membuktikan, bahwa pada hakekatnya untuk produk-produk baru, antara berita dan iklan tidak ada bedanya. Atau, bahwa berita pun dapat disampaikan dengan metode dan teknik periklanan. Kenyataan itu membuktikan pula, bahwa iklan dan penerbitan pers di Indonesia, sebenarnya lahir tepat bersamaan waktunya, dan keduanya saling membutuhkan atau memiliki saling ketergantungan.
Pada masa Hindia Belanda, belum ada pemisahan yang jelas antara fungsi-fungsi penerbit, percetakan dan perusahaan periklanan. Antara tahun 1868-1912, di Batavia, orang-orang Eropa telah memiliki 14 penerbitan pers. Karena di masa itu setiap percetakan hanya mencetak satu penerbitan pers, maka berarti terdapat jumlah yang sama percetakan pers yang dimiliki oleh orang-orang Eropa atau keturunan Eropa. Penerbitan-penerbitan ini bervariasi dari yang berkala harian, mingguan, dwimingguan maupun bulanan.
Di luar Batavia, tercatat 6 suratkabar yang terbit di Surabaya dan satu di Jawa Tengah. Ini semua dimiliki dan dikelola oleh orang-orang Eropa. Pada perusahaan-perusahaan periklanan milik orang-orang Eropa itu, memang banyak juga dipekerjakan orang-orang Cina atau pribumi. Dua kelompok terakhir ini hanya sebagai copywriter (penulis naskah) untuk perusahaan periklanannya, atau tenaga keredaksian di penerbitan pers mereka. Setelah orang-orang Eropa, orang-orang Cina atau keturunan Cina menjadi kelompok yang paling dominan menguasai periklanan. Sedangkan kelompok pribumi umumnya tidak memiliki sendiri percetakan atau penerbitan pers, ataupun hanya mengelola perusahaan-perusahaan periklanan yang relatif kecil.
Praktisi periklanan sebagai tenaga spesialis yang khusus didatangkan dari Belanda yang terkenal di zamannya adalah “tiga-serangkai”; F. Van Bemmel, Is. Van Mens dan Cor van Deutekom. Mereka ini didatangkan atas biaya BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) dan General Motors yang perlu mempromosikan produk-produk mereka. Ketiga orang ini bergabung dalam Aneta, perusahaan periklanan terbesar saat itu. Pada tahun 1901 salah satu dari anggota tiga-serangkai ini, Bemmel, diminta oleh redaktur suratkabar De Locomotief untuk mengelola perusahaan periklanan milik suratkabar tersebut, yang juga bernama De Locomotief. Suratkabar De Locomotief sendiri terbit sejak tahun 1870 di Semarang. Tahun 1902, hanya satu tahun sejak kedatangannya ke Batavia, Bemmel hengkang untuk mendirikan perusahaan periklanan sendiri. Perusahaan periklanan ini diberinya nama NV Overzeesche Handelsvereeniging. Perusahaan periklanan ini utamanya menangani produk-produk impor, seperti mobil dan sepeda.
Pada tahun 1910 Bemmel kembali ke negeri Belanda. Tidak diketahui alasan kepindahannya itu, namun di negeri Belanda ia kemudian berganti profesi. Uang yang dihimpunnya selama memiliki perusahaan periklanan di Hindia Belanda rupanya cukup untuk mendirikan sebuah bank.
(dihimpun dari berbagai sumber)
.
0 comments:
Post a Comment