Perspektif Sejarah Periklanan Indonesia
Monday, February 14, 2011
Berawal dari Gerobak Sapi
Pada tahun 1930an, banyak poster dan papan reklame ditempel pada panel samping gerobak sapi yang hilir mudik mengangkut barang. Pada masa itu, kebanyakan papan reklame dicetak diatas lembar plat seng atau logam yang cukup tebal. Banyak pula yang dilapis enamel agar tahan lama. Setelah tahun 1948, ketika bahan ”ajaib” yang bernama scothlite ditemukan banyak pula papan reklame yang menggunakan scothlite tadi karena mampu memantulkan cahaya dengan efek mengagumkan. Plat-plat seng reklame itu kini merupakan kolekters item yang berharga di pasar benda-benda antik. Ketika itu, produk yang paling banyak diiklankan melalui media luar ruang bergerak (moving outdoor media) antara lain adalah produk-produk ban sepeda dari goodyear dan michelin, produk sabun dan tapal lidi dari unilever, limun (soda pop) merek regional, dan produk rokok dari berbagai produsen, termasuk cerutu impor. Media opportunity pada waktu itu memang sangat terbatas, tetapi orang-orang periklanan sudah sangat kreatif menggunakan setiap peluang yang ada-termasuk media tradisional.
Belum terbayangkan ketika itu bahwa jauh di kemudian hari kreativitas iklan telah melahirkan berbagai media untuk menempatkan iklan diluar ruang. Transit advertising telah menjadi sub bisnis besar dalam periklanan. Sisi-sisi bus dan kendaraan umum dipasangan panel iklan, atau spanduk yang ditarik pesawat terbang rendah, bahkan penutup velg roda (hubcaps) maupun lampung punggung taksi. Tetapi, gajah di thailand yang sejak dulu sering ”ditempeli” papan iklan, sampai di zaman modern ini pun masih menjadi media iklan yang efektif. Surat kabar, tentu saja, merupakan media yang juga populer di indonesia sejak pertengahan awal abad ke 19. tetapi, berdasarkan kriteria umumnya sebetulnya iklan surat kabar sudah hadir di indonesia sejak tahun 1621 ketika gubernur jenderal Jan Pieterszon Con (1619-1629) menerbitkan Memorie De Nouvelles pamflet informasi semacam surat kabar yang memuat berbagai berita dari pemerintah hindia belanda, khususnya yang menyangkut mutasi dan promosi para pejabat penting di kawasan ini. Pamflet ini berupa tulisan indah (silografi) yang diperbanyak dengan mesin cetak temuan Johannes Gutenberg (1445).
Berita-berita yang dimuat itu sebetulnya merupakan iklan karena pemuatannya di Memorie De Nouvelles sepenuhnya di biayai oleh pemerintah hindia belanda. Sekalipun sangat berbau perbenturan kepentingan (conflict of interest, bahasa masa kini = KKN), tetapi sang gubernur jenderal Con adalah juga penerbit media itu dan sekaligus memiliki reclame Bureau yang megatur pemuatan ”berita di pamflet itu”. Con juga memakai Memorie de Nouvelles untuk memuat ”berita dengan pesan khusus ” untuk melemahkan daya saing peniaga portugis di kawasan maluku. Tentu saja, ada VOC dibelakang siasat perang dagang itu. Pada tahun 1744, terbitlah surat kabar pertama yang memakai teknologi cetak tinggi, dengan (plat cetak dari timah) di nusantara. Namanya : Bataviaasche Nouvelles. Tetapi, surat kabar yang juga disponsori oleh pemerintah hindia belanda pada masa gubernur Jenderal Gustaav Willem Baron Van Imhovv itupun sebetulnya lebih merupakan lembaran iklan karena memang lebih banyak menampilkan iklan dan dibiayai hampir sepenuhnya oleh pendapatan iklan pula. Maklum, surat kabar pada waktu itu hanya bertiras paling banyak hanya 2500 eks. Sehingga penghasilan sirkulasinya tentulah sangat sedikit.
Dari berbagai surat kabar yang terbit di jakarta, bandung, semarang, surabaya, makasar, manado, dan medan pada pertengahan abad ke 19, dapat dilihat hadirnya berbagai iklan barang dan jasa yang memenuhi halaman-halaman media cetak. Beberapa nama koran besar di masa itu antara lain adalah: Bataviaasch Nieuwsblad, Nieuws van de Dag, Java Bode (batavia), Preanger Bode (Bandung), De Locomotief (semarang, semula Samarangsche Nieuws en Advertentieblad), Nieuwe Vorstenlanden (solo), Soerabaiasche Courant (Surabaya, semula Oostpost), Makassararsche Courant (makasar), Tjahaja Siang (manado), Sumatra Post (Medan), dan Soematra Bode (padang).
Selain itu, telah mulai hadir pula berbagai surat kabar dalam bahasa melayu (sebelum kemudian menjadi bahasa indonesia sejak 1928.) surat kabar berbahasa melayu yang populer pada masa itu antara lain adalah Medan Moeslimin, Medan Prijaji, Sinar de Jawa, Sinar Terang, dan Soerat Kabar Minggoean. Kebijaksanaan kontrol informasi yang diterapkan sangat ketat oleh pemerintah hindia belanda pun membuat surat kabar tidak dapat menjalankan fungsinya secara penuh sebagai lembaga pemberita. Peran pers indonesia sebagai alat politik baru muncul pada awal abad ke 20 seiring dengan kegerakkan kebangkitan nasional dan lahirnya ordonasi pers yang mengatur pembredelan surat kabar.
Di zaman ”kuda gigit besi” itu, ikaln-iklan juga ramai diudarakan melalui radio, diproyeksikan di gedung bioskop dan ditampilkan melalui pertunjukan keliling (mobil propaganda) mirip tukang obat yang hingga kini masih banyak dijupai di berbagai kota kecil. Iklan radio sebetulnya mash merupakan sebuah novelty pada awal bad ke-20 setelah radio commercial pertama dikumandangkan oleh stasiun WEAV di New York City pada 28 Agustus 1922. Sebuah perusahaan real estate di Quinsboro membayar US $50 untuk penyuaran pesan komersial selama 5 hari.
Adventertie poenza kaperloean soedah kentara , kerna advertentie perloenja boeat perkenalken barang-barang dagangan kita ada publiek. Kaloe barang jang kita dagangken tidak dikenal, bagaiman bisa dapatken pembeli
Liem Kha Tong
Sebelum iklan hadir di radio, pesan komersial sudah lebih dulu hadir melalui saluran telepon. Pada tahun 193, perusahaan telepon di Hongaria ”menjual spot 12 detik di antara musik dan berita yan dipanarkan lewat telepon dengan tarif sekitar US $0.50. Perusahaan telepon AT&T di Amerika Serikat juga pada awal abad ke-20 menerima pesan-pesan komersial yag dipancarkan melali cara call broadcasting ini.
Di Indonesia, radio sudah dikenal sejak awal abad ke-20. Tidak lama setelah Guglielmo Marconi menemukan gelombang suara dan mengembangkannya menjadi alat komunikasi yang bernama radio telegrafik, dan keudian berkembang lagi menjadi pemancar dan penerima gelombang radio. Radio Nederland WERELDOMROEP yang memancarkan siarannya ke seluruh dunia sejak taun 1920-an. Merupakan pemancar yang paling digemari kaum elite, khususnya orang-orang belanda di Indonesia pada waktu itu.
Akan tetapi, radio swasta baru muai hadir cikal bakalnya di Indonesia sejak akhir tahun 1960-an, yitu sejak tumpasnya pemberontakan G30 S/PKI. Sebelumnya, di Indonesia hanya dienal RRI yang telah mengudara sejak tahun 1945. RRI sendiri dapat dirunut sejarahnya sejak stasiun radio bentukan pemerintah Hindia Belanda yang dikendalikan oleh tentara pendudukan jepang.
Pada awalnya, beberapa mahasiswa di Bandung secara iseng-iseng mengudara dengan pemancar sederhana berkekuatan rendah. Pada waktu itu mereka menyebutnya sebaga radio amatir sebuah istilah yang salah kaprah kaena engertian amateur radio menjeaskan kegiatan yang berbeda dengan teknologi radio dua arah.
Kata “amatir” disini agaknya dipakai sebagai antonym dari “professional.” Stasiun-stasiun radio “amatir” ini meruakan bagian dari perlawanan politik kaum muda terhadap sisa-sisa PKI. Sebelumnya, mereka juga telah melakukan perlawanan dengan membentuk lascar dan batalyon, seperti LAskar Arif Rachman Hakim yang merupakan onderboue dari KAMI. Maka, lahirlah radio ARH dan radio-radio semacam itu di Indonesia.
Gerakan itu dengan cepet menyebar ke Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Radio Prambors kini telah mengembangkan jejarinnya dengan beberapa anak perusahaan stasiun radio yang masing-masing memiliki pasar khas di jalan Borobudur, Jakarta Pusat, juga dapat dirunut sejarahnya pada periode itu.
Kehadiran radio-radio ”Amatir” itu segera mendapat lirikan para pengiklan yang memang sedang membutuhkan media alternatif. Salah satu perintis pengguna radio ”amatir” di Indoesia sebagai media iklan adalah Ajino moto. Embanjirnya iklan di radio kemudian meningkatkan profesionalisme para pengelola radio ”amatir” apalagi karena pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan pemerintah no.55 tahun 1970 yang ewajibkan semua stasiun radio siaran niaga dipayungi dalm wadah badan hukum berbentuk PT. Sejak saat itu, istilah ”radio amatir” berubah menjadi ”radio siaran swasta niaga”.
3.2 Perintis Periklanan Indonesia
Sejarah memang membuktikan bahwa iklanlah yang mengembuskan nafas awal bagi kehidupan surat kabar di Indonesia. Pada masa-masa awal keidupan pers Indonesia dan keadaan ini berlanjut hingga awal abad ke-20 surat kabar tidak lain adalah advertentieblad (media iklan) belaka. koran (dari bahasa Belanda: het krant, dan dari bahasa perancis: courant ), sebagian besar isi beritanya adalah iklan tentang perdagangan, pelelangan, dan pengumuman resmi Pemerintah Hindia Belanda. Sesuai dengan khalayaknya, iklan disurat kabar menampilkan produk-produk yang merupakan konsumsi kelas atas. Misalnya, sebuah toko P&D (provisien en dranken= kebutuhan makanan dan minuman) yang mengumumkan datangnya kapal dari Negeri Belanda membawa mentega dan stok keju baru. Cerutu dan bir juga merupakan komoditas impor di masa itu, dan sering muncul diiklankan di surat kabar. Pada masa itu, mobil malah jarang muncul di iklan surat kabar. Mungkin karena masih merupakan seller’s market dan pembeli mobil malah harus antre sebelum mobil yang dipesan didatangkan dari negri jauh. Berbeda sekali dengan kondisi pasar kendaraan bermotor yang sangat kompetitif di masa sekarang.
Pada awal abad ke-20 perusahaan terbesar pada saat itu, Aneta, mendatangkan tiga orang tenaga spesialis periklanan dari Negeri Belanda. Mereka adalah: F. Van Bemmel, Is van Mens, dan Cor van Deutekom. Mereka didatangkan atas sponsorship BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij, perusahaan minyak terbesar saat itu) dan General Motors yang perlu mempromosikan produk-produk mereka. Van Bemmel kemudian ditawari pekerjaan oleh pemilik surat kabar De Locomotief di Semarang unuk mendirikan sebuah perusahaan periklanan. Tidak lama kemudian, Van Bemmel pun hengkang dari perusahaan yang dirintisnya itu, dan kemudian mendirikan sendiri sebuah perusahaan periklanan bernama NV Overzeesche Handelsvereniging untuk menangani berbagai produk impor seperti mobil dan sepeda. Van Bemmel hanya perlu bekerja selama 10 tahun di Indonesia, dan pulang kembali ke Negeri Belanda untuk membangun sebuah Bank dari hasil keuntungan yang diraupnya selama berusaha di Indonesia. Pada masa perintisan periklanan Indonesia, hampir semua perusahaan periklanan merupakan afiliasi perusahaan media sesuatu yang di masa sekarang justru dianggap sebagai perbenturan kepentingan. Pemilik surat kabar Java Bode, misalnya, juga memilki sebuah perusahaan periklanan HM van Drop yang diawaki oleh seorang bernama C.A Kruseman. Ia dianggap sebagai salah seorang perintis dalam periklanan di Indonesia.
Menjelang akhir abad ke-19 perusahaan-perusahaan periklanan yang dimiliki dan dikelola oleh Cina keturunan mulai bermunculan. Resesi ekonomi yang melanda dunia tahun 1890 rupanya berdampak sangat buruk bagi dunia usaha. Termasuk banyak percetakan pers milik orang-orang Belanda. Peluang inilah yang ternyata mampu dimanfaatkan oleh kelompok Cina keturunan. Pelopor periklanan dari kelompok ini adalah Yap Goan Ho, yang memiliki perusahaan periklanan sendiri di Batavia. Yap Goan Ho sebelumnya adalah seorang copywriter di perusahaan periklanan De Locomotief. Perusahaan periklanannya diberi nama Yap Goan Ho, mulanya dikontrak olah suratkabar berbahasa Melayu, Sinar Terang (terbit 1888-1891). Perusahaan periklanan ini hanya bertahan tiga tahun, akibat bangkrutnya surat kabar Sinar Terang.
Iklan-iklan yang ditangani Yap Goan ho kebanyakan untuk produk buku. Khususnya yang diterbitkan untuk masyarakat Cina. Setelah ditutupnya Sinar Terang, Yap Goan Ho kembali berusaha mengembangkan sendiri perusahaan periklanannya. Untuk itu dia mengumpulkan modal dari bekerja mencari iklan bagi beberapa suratkabar. Dia mengkhususkan diri pada iklan-iklan pelelangan barang milik para pejabat Belanda. Kebanyakan barang-barang milik para pejabat yang akan mengakhiri masa jabatannya di Hindia Belanda. Iklan-iklan pelelangan ini utamanya ditujukan pada khalayak pribumi, dan sebagian besar dimuat di suratkabar De Locomotief. Tokoh Cina keturunan lain adalah Liem Bie Goan. Seperti juga Yap Goan Ho, perusahaan periklanan Liem Bie Goan juga dikontrak oleh suratkabar. Suratkabar yang mengontraknya adalah Pertja Barat yang terbit di Padang tahun 1890-1912. Iklan yang menonjol dari perusahaan periklanan ini adalah produk pecah belah. Khalayak sasarannya adalah penduduk Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.
Dari luar Jawa tercatat juga nama Kadhool sebagai tokoh lain periklanan. Seperti Yap Goan Ho, dia juga mantan penulis naskah di perusahaan periklanan De Locomotief. Kadhool sekolah di Hwee Koan, Cina. Perusahan periklanannya bernama Firma Tie Ping Goan, namun dikelola dan dimiliki sendiri oleh Kadhool. Tidak ada catatan mengapa nama perusahaan periklanan ini tidak menggunakan namanya. Di duga, Tie Ping Goan adalah nama lain dari Kadhool. Iklan-iklan Tie Ping Goan umumnya dipesan oleh suratkabar Tjaja Sumatra yang terbit dari tahun 1899-1933 di Sumatera Timur (sekarang Riau). Produk-produk yang ditangani perusahaan periklanan Kadhool kebanyakan hotel-hotel di sekitar Bandung. Bagi masyarakat Belanda masa itu, daerah Bandung dikenal sebagai Parisj van Java (Paris-nya Pulau Jawa), sehingga menjadi tempat peristirahatan sangat bergengsi bagi para pengusaha perkebunan Eropa yang tinggal di Sumatera. Tie Ping Goan bertahan hingga terjadinya depresi ekonomi tahun 1930. Rintisan yang banyak dilakukan oleh kelompok Cina keturunan ini, menurut F. Wiggeres yang menulis dalam Pemberita Betawi, 1909, karena merekalah yang sangat mementingkan perdagangan. Untuk dapat lebih berhasil, kata Wiggeres pula, perdagangan tidak bisa lepas dari kebutuhan periklanan. Orang pribumi yang memiliki percetakan dan suratkabar, baru pada tahun 1906 dengan munculnya NV Medan Prijaji. Tiras suratkabar yang dipimpin oleh RM Tirto Adisoerjo ini utamanya beredar di Batavia, Bogor dan Bandung. Suratkabar ini sebenarnya punya misi politik, karena banyak memuat berita-berita tentang kebobrokan sistem kolonial. Dia sekaligus memberi juga perlindungan hukum bagi kaum pribumi. Namun untuk menjaga kelangsungan hidupnya, ia memerlukan juga perusahaan periklanan. Orang yang mengelola perusahaan periklanan Medan Prijaji adalah Raden Goenawan.
Raden Goenawan, lulusan HIS (Holland Inlandsche School), Batavia, menjadi teman dekat Tirto Adisoerjo sejak di sekolah itu. Selain dalam jabatan tersebut, Adisoerjo dan Raden Goenawan juga merangkap bersama-sama menangani bidang percetakan Medan Prijaji. Suratkabar ini mereka beri nama kecil Surat Kabar Minggoean dan Advertentie.Raden Goenawan juga pernah bekerja di perusahaan periklanan NV Soesman’s yang berkedudukan di Batavia. NV Soesman’s banyak mengiklankan penyediaan tenaga kerja pendatang dari Jawa ke Sumatera Timur.
Raden Goenawan mengelola perusahaan periklanan Medan Prijaji sejak berdirinya tahun 1906. Meskipun hanya mampu bertahan hingga tahun 1912, Medan Prijaji tercatat memperoleh keuntungan sebesar f.75.000 pada tahun terakhir hidupnya.
Tokoh periklanan pribumi yang sangat patut diperhitungkan adalah Tjokroamidjojo. Dia memimpin NV Handel Maatschppij dan Drukkerij “Serikat Dagng Islam”, Semarang, yang menerbitkan suratkabar Sinar Djawa. Suratkabar ini merupakan suratkabar pribumi yang dapat bertahan agak lama (1914-1924). Karir Tjokroamidjojo dimulai dengan bekerja sebagai pembantu redaksi di suratkabar De locomotief pada tahun 1906. Kemudian menjadi penulis naskah iklan di suratkabar Pemberita Betawi. Pada tahun 1908 dia mendirikan perusahaan batik di Pekalongan. Dari hasil perusahaan batik ini, dia membeli perusahaan penerbitan dan percetakan di Semarang. Perusahaan periklanan Sinar Djawa tercatat sebagai satu-satunya perusahaan periklanan di Hindia Belanda yang mempunyai “agen besar” (perwakilan) untuk benua Eropa dan Amerika. Perwakilan ini berkedudukan di Societie Europeenne de Publicitie, 10 Rue de la Victoire, Paris. Fungsi perwakilan ini pun cukup efektif dan bersifat timbal-balik. Yang utama adalah untuk menangani komoditas impor dari Eropa dan Amerika. Namun juga untuk mengiklankan tour keliling Jawa dengan kereta api, ataupun hotel-hotel Eropa di Hindia Belanda. Laba usaha Sinar Djawa mengalami pasang surut. Merosot pada tahun 1915-1916, akibat terkena dampak Perang Dunia I, sehingga hanya mencapai f. 25.000 pada periode ini. Padahal pada tahun sebelumnya telah mencapai f. 45.000. Sepanjang kepemimpinan Tjokroamidjojo hingga tahun 1924, Sinar Djawa berhasil menggaet total keuntungan senilai f. 200.000,-.
M.Sastrositojo adalah pemilik dan pengelola perusahaan periklanan NV Medan Moeslimin. Perusahaan periklanan ini mengkhususkan diri pada iklan-iklan produk buku, terutama buku-buku yang dicetak oleh Albert Rusche & Co.. Buku-buku yang diiklankannya pun khusus beraksara Jawa. Kebijaksanaan mengkhususkan pada iklan-iklan buku ini dilakukan, untuk menyesuaikan diri dengan suratkabar Medan Moeslimin yang memang dikhususkan untuk pembaca orang Jawa yang baru melek huruf. Itu pun terbatas pada bacaan yang menggunakan aksara Jawa. Misi yang diemban Medan Moeslimin tampaknya tidak dapat sepenuhnya ditunjang dari penghasilan usaha periklanan. Karena tercatat adanya dukungan keuangan dari beberapa perusahaan batik di Solo. Salah satu pendukung utama keuangannya adalah perusahaan batik milik Hadji Misbach. M. Sastrositojo adalah lulusan HIS, yang kemudian magang selama 2 tahun di perusahaan periklanan NV Doenia Bergerak, sebagai penulis naskah iklan.
3.3 Perusahaan Periklanan Perintis
Salah satu perusahaan consumer products yang aktif beriklan pada masa itu adalah Unilever-amalgamasi perusahaan Margarine Union (Belanda) dan Lever Brothers (Inggris)- yang sejak tahun 1933 telah membangun pabrik sabun di Bacherachtsgracht, Batavia (sekarang Angke, Jakarta Barat). Setelah berdirinya pabrik sabun itu,Unilever juga membangun pabrik margarin. Sebelumnya, produk-produk Unilever diimpor langsung dari Negeri Belanda. Hadirnya Unilever juga kemudian membawa masuknya cikal bakal Lintas (singkatan dari Lever International Advertising Services) ke Nusantara. Semula, Lintas adalah divisi periklanan dari Lever Brothers, sebelum kemudian berdiri sendiri menjadi perusahaan periklanan independen. Apa yang dilakukan Lintas yang berlogo bola dunia pada masa-masa awal itu sebetulnya tidak lain adalah melakukan adaptasi bentuk-bentuk iklan yang telah mereka luncurkan terhadap produk-produk serupa di bagian dunia lainnya, serta melakukan media placement. Perlu dicatat bahwa Lintas pada saat itu sudah memiliki keberanian membuat iklan dalam bahasa daerah. Misalnya, iklan Margarine Blue Band dalam bahasa Sunda memakai judul ”Pamoeda Sehat… Rajat Kiat” (Pemuda Sehat…Rakyat Kuat), dengan tagline ”Blue Band Mengandoeng Seueur Vitamin” (Mengandung Banyak Vitamin).
”Model organisasi” seperti Lintas itulah yang agaknya kemudian ditiru oleh beberapa usahawan di Batavia dan kota-kota besar Indonesia lainnya. Sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa perusahaan periklanan (ketika itu disebut reclamebureau atau advertentiebureau) sudah beroperasi di Indonesia. Hingga masa pendudukan Jepang, beberapa perusahaan periklanan ynag terkenal di Jakarta adalah, antara lain:
- A de la Mar, di Koningsplein (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara, dekat Istana Merdeka),
- Aneta (sebagai bagian dari kantor berita bernama sama), di Passer Baroe (sekarang Museum LKBN Antara di Jalan Antara),
- Globe, di Jalan Kali Besar Timur,
- IRAB (Indonesia Reclame en Advertentiebureau), semula berkantor di Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk), tetapi kemudian pindah ke Asem Reges (kemudian menjadi Sawah Besar, sekarang Jalan KH Samanhudi),
- Preciosa, di Gang Secretarie (kantor Sekretariat Negara sekarang, Jalan Veteran IV ),
- Elite
Hampir semua perusahaan periklanan itu dipimpin oleh orang-orang Belanda, kecuali IRAB dan Elite yang diselenggarakan oleh kaum Bumiputra. Pada masa pendudukan Jepang, terjadi perubahan lanskap periklanan Indonesia. Karena banyak warga Belanda yang mengungsi-sebagian lagi ditawan maka kondisi vakum itu diisi dengan munculnya berbagai perusahaan periklanan baru milik kaum pribumi. Sayangnya, tidak cukup catatan tentang kehadiran perusahaan periklanan yang dijalankan etnis Tionghoa. Padahal, dari mulut ke mulut kita sering mendengar bukti-bukti peran mereka dalam perintisan periklanan Indonesia. Yang jelas, etnis Tionghoa sangat berperan dalam menumbuhkan dunia persuratkabaran di Indonesia, sehingga dengan demikian dapat dilihat pula keterlibatan mereka dalam periklanan secara langsung maupun tidak. Sekalipun kebanyakan perusahaan periklanan baru itu berukuran kecil, tetapi tercatat lima perusahaan periklanan yang berskala cukup besar, yakni Elite, RAB, Korra, Pikat, Tandjoeng. Selama masa pendudukan Jepang, merosotnya aktivitas ekonomi ikut mengkerdilkan dunia periklanan Indonesia. Setelah proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kepercayaan kepada Republik yang muda ini tampak dengan kembali bergairahnya kehidupan perekonomian. Sayangnya, kecenderungan itu tidak berlangsung lama karena Belanda mulai menggelar aksi militernya terhadap Indonesia. Keadaan perekonomian pun redup kembali. Pemerintah Republik Indonesia sempat hijrah ke Yogyakarta selama empat tahun. Keadaan ini berakhir setelah dicapainya kesepakatan pengakuan kedaulatan dalam KMB pada akhir tahun 1949.
Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Jakarta menandai kebangkitan baru perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan nasional mulai bertumbuhan, seiring dengan masuknya kembali beberapa perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan Belanda yang semula mengungsi, pun kembali lagi melakukan usahanya. Salah satunya adalah Unilever. Era baru itu juga disambut oleh Unilever dengan meluncurkan berbagai produk baru. Dunia periklanan seakan berdarah kembali. Beberapa perusahaan periklanan yang tercatat hadir di Jakarta pada masa itu antara lain adalah: Azeta, Contact, Cotecy, De Unie, Elite, IRAB, Studi Berk, dan Titi. Pada awal dasawarsa 1950’an yang paling banyak ditempatkan di dunia cetak adalah iklan obat-obatan. Sayangnya, menjamurnya iklan obat-obatan itu tidak dibarengi dengan etika dan tanggung jawab para insan periklanan. Banyak obat-obatan yang diiklankan itu sebetulnya diragukan manfaatnya, atau malah membahayakan kesehatan penggunanya. Keadaan yang nyaris lepas kendali ini akhirnya ditata dengan terbitnya ketentuan Menteri Kesehatan pada tahun 1954 yang mengatur keharusan untuk mendapatkan lisensi manfaat dan keselamatan obat sebelum dipasarkan, dan ketentuan agar iklan obat harus menjelaskan manfaat obat secara jelas.
3.4 Kebangkitan Asosiasi Periklanan Indonesia
Menurut catatan, pada tahun 1951, istilah periklanan pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh pers indonesia, Soedarjo Tjokrosisworo, untuk menggantikan istilah reklame atau advertensi yang ke belanda-belandaan. Senapas dengan semangat kebangsaan itu, sebuah biro reklame di bandung yang sebelumnya bernama Medium, juga mengubah nama menjadi Balai Iklan. Atas prakarsa beberapa perusahaan periklanan yang berdomisili di Jakarta dan Bandung, pada awal September 1949 dilembagakan sebuah asosiasi bagi perusaaan-perusahaan periklanan. Asosiasi ini diberi nama Bond van Reclamebureaux in Indonesia atau dalam bahasa indonesia Perserikatan Biro Reklame Indonesia (PBRI). Nama asosiasi yang masih menggunakan bahasa Belanda ini tidak lain karena mayoritas anggotanya adalah memang perusahaan-perusahaan periklanan yang dimiliki oleh orang Belanda.
Sebelas perusahaan periklanan tercatat sebagai anggota PBRI, yaitu: Budi Ksatria, Contact, De Unie, F. Bodmer, Franklijn, Grafika, Life, Limas, Lintas, Rosada, dan Studio Berk. Akan tetapi, kehadiran PBRI dianggap hanya mewakili perusahaan-perusahaan periklanan besar khususnya yang dimiliki atau dikuasai oleh orang-orang Belanda. Perusahaan-perusahaan periklanan kecil merasa bahwa aspirasi mereka tidak memukau jalan untuk disampaikan ke dalam PBRI. Suasana seperti itu kemudian memicu lahirnya sebuah asosiasi perusahaan periklanan nasional yang dimliki dan diawaki oleh orang-orang Indonesia. Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN) dibentuk pada tahun 1953, dan sertamerta menjadi organisasi tandingan bagi PBRI. Tidak jelas mengapa semangat nasionalisme di dalam SBRN tidak memunculkan istilah iklan yang sudah dikenal sejak dua tahun sebelumnya, dan masih menggunakan istilah biro reklame yang berbau Belanda. Anggota SBRN yang tercatat adalah 13 perusahaan periklanan: Azeta, Elite, Garuda, IRAB, Kilat, Kusuma, Patriot, Pikat, Reka, Lingga, Titi, dan Trio. Tidak semua perusahaan perilanan bersedia bergabung ke dalam asosiasi. Contonya adalah Medium yang telah bertukar nama menjadi Balai Iklan. Ia memilih untuk tidak bergabung dengan salah satu dari dua asosiasi tersebut. Tjetje Senaputra, pemiliknya berdalih bahwa Balai Iklan tidak menangani iklan display dan karena itu tidak menganggap perusahaan sebagai full-service agency. Balai Iklan memang mengkhususkan diri pada iklan-iklan klasika berukuran kecil tentang lowongan kerja dan berita keluarga.
Ada pula dugaan bahwa terbentuknya SBRN diilhami oleh keterbelahan penerbit surat kabar yang juga memiliki dua asosiasi, yaitu: Perserikatan Persuratkabaran Indonesia (PPI), dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), PPI merupakan kelanjutan dari Verenigde Dagblad Pers di masa Hindia Belanda. Tentu saja keterbelahan perusahaan-perusahaan periklanan itu membuat prihatin F. Berkhout, Ketua PBRI pada saat itu. Ia kemudian menghubungi beberapa pimpinan SBRN dan mnawarkan dibentuknya fusi atau peleburan dari kedua asosiasi tersebut. Bila tujuannya sama, mengapa harus memakai dua kendraan yang justru menyulitkan pembinaan ke luar maupun ke dalam, di samping juga tidak mencuatkan kesan persatuan.
Gagasan fusi itu tampaknya diterima secara umum oleh kedua belah pihak. Orang-orang Belanda yang semula menguasai berbagai posisi dan fungsi di PBRI sepakat untuk mengundurkan diri agar digantikan oleh orang-orang Indonesia. Tetapi fusi itu secara organisatoris ternyata tidak pernah menjadi kenyataan. Dalam tubuh SBRN terjadi perpecahan, sehingga semua anggotanya mengundurkan diri dan bergabung ke dalam PBRI. Baru pada tahun 1956, melalui forum rapat umum anggota, secara aklamasi Muhammad Napis dikukuhkan sebagai ketua PBRI. Pada tahun 1957, PBRI menyelenggarakan Kongres Reklame seluruh Indonesia yang pertama. Dalam kongres tersebut, kata ”perserikatan” diubah menjadi ”persatuan”.
3.5 Awal Artis Memasuki Periklanan Indonesia
Iklan sebgai salah satu alat pemasaran yang ampuh langsung saja berdenyut dengan nafas baru yang segar. Beberapa perusahaan periklanan muncup pada masa ini. Demikian juga media untuk beriklan. Dan periklanan pun menjadi marak. Dasawarsa 1970an juga ditandai dengan tampilanya selebritis Indonesia sebagai bintang iklan. Sabun Lux produksi Unilever boleh jadi merupakan trendsetter di bidang itu. Sejak dasawarsa 1950an, Lux sudah memakai slogan ”dipakai oleh 9 dari 10 bintang-bintang film”. Lux diidentifikasikan dengan bintang-bintang film rupawan berkelas dunia, antara lain : Sophia Loren.
Pada dasawarsa 1970an, slogan itu diubah sedikit menjadi ”sabun kecantikan bintang-bintang film”. Unilever juga mulai memakai bintang-bintang film Indonesia untuk menjadi duta produknya. Widyawati, bintang film populer berpribadi lembut dengan kecantikkan memukau, tampil sebagai spokesperson Lux. Beberapa bintang film papan atas pun silih berganti tampil sebagai ”The Lux Lady”. Salah satu yang legendaris adalah Christine Hakim, bintang film temuan Teguh Karya. Produk detergen bermerk rinso pun memilih Krisbiantoro sebgai duta produk. Kris adalah seorang penyanyi merangkap master of ceremony yang kocak dan menjadi presenter berbagai program televisi populer pada saat itu. Popularitas Krisbiantoro pun serta merts menjadi tuas yang ampuh untuk mendongkrak popularitas rinso.level International Advertising Services (Lintas) perusahaan periklanan yang menganai produk-produk Unilever tidak hanya menumpang popularitas selebritis, melainkan juga melahirkan bintang-bintang baru. Robby Sugara, misalnya, ”hanyalah” seorang head waiter di sebuah restoran ketika terpilih menjadi bintang ”The Brisk Man”. Kehidupannya pun melejit seperti meteor.
3.6 Kelahiran Periklanan Modern Indonesia
Berbagai merk internasional mulai bermunculan di Indonesia dan dengan garangnya berupaya meraup pangsa pasar sebesar-sebesarnya. Coca cola, Toyota, Mitsubishi, Fuji Film, American Express, Citibank, adalah sebagian dari nama-nama besar yang mulai membanjiri pasar Indonesia. Pada saat yang sama, muncul pula local brands yang dipicu oleh kemudahan mendapatkan kredit penanaman modal dari lembaga-lembaga perbankan yang juga sedang bertumbuh pesat. Salah satu sektor yang paling hidup pada dasawarsa 1970an itu adalah industri farmasi dengan berbagai jenis obat baru yang diluncurkan pada saat itu antara lain adalah Bodrex-obat sakit kepala yang populer hingga saat ini. Begitu populernya nama Bodrex bahkan sampai dijadikan ikon jurnalistik Indonesia untuk menyebut wartawan yang datang tak diundang.
Suasana baru di dunia usaha itu memicu berbagai kelahiran perusahaan periklanan. Tentu saja, yang pertama kali muncul justru perusahaan-perusahaan periklanan yang secara ilmiah terbawa oleh masuknya perusahaan multinasional ke Indonesia. Contohnya adalah Olgilvy & Mather yang berkibar di Jakarta dengan nama IndoAd di bawah pimpinan Emir Muchtar, karena hadirnya klien-klien O&M di Indonesia, seperti: American Express, dll. Sebelumnya O&M lahir di Indonesia dengan nama SH Benson, kemudian berubah menjadi Olgivy &Mather. Perubahan nama O&M menjadi IndoAd terkait Peraturan Menteri Perdagangan pada tahun 1970 yang melarang perusahaan periklanan asing di Indonesia. Contoh lain adalah McCann Erickson yang dibawa oleh Coca cola dan kemudian mengibarkan bendera Perwanal Utama di bawah pimpinan Savrinus Suardi.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan periklanan nasional lama pun mendapat angin dari transformasi ekonomi yang terjadi. Perusahaan itu antara lain: Bhineka yang dipimpin oleh tokoh lama Muhammad Napis, dan InterVista yang dipimpin oleh Nuradi seorang mantan diplomat yang beralih ke dunia periklanan. InterVista adalah sebuah fenomena yang perlu dicatat secara khusus dalam sejarah periklanan Indonesia, khususnya karena Nuradi, pendirinya, dianggap sebagai perintis periklanan modern Indonesia. Setelah Proklamasi kemerdeaan Indonesia, Nuradi diangkat menjadi pegawai Departemen Luar Negri, Nuradi bertugas sebagai jurubahasa yang mendampingi Presiden Soekarno. Sebagai karyawan Departemen Penerangan, tugas Nuradi adalah penyiar siaran bahasa Inggris di RRI. Pada tahun 1950, Nuradi ditunjuk untuk menjalankan misi khusus Uni soviet, dan kemudian menjadi anggota Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa di New York selama di Amerika Serikat, Nuradi juga sempat menyelesaikan studi di Harvard University.
Perintis periklanan yang bernama Nuradi ini. Lahir di Jakarta, tanggal 10 Mei 1926. Seperti juga banyak pelaku periklanan modern, Nuradi pun tidak memperoleh pendidikan formal di bidang periklanan. Tahun 1946-1948 ia masuk Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (darurat). Kemudian masuk Akademi Dinas Luar Negeri Republik Indonesia (1949-1950). Tahun-tahun berikutnya dia banyak mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. Dia menjadi orang Indonesia pertama yang diterima di Foreign Service Institute, US State Department, Washington DC. Selanjutnya belajar penelitian sosial di New School, New York (1952-1954) dan menyelesaikan studi bidang administrasi publik di Harvard University, Cambridge, Massachusetts. Kemudian selama setahun belajar bahasa di Universitas Sorbone dan Universitas Besancon, Perancis.Tahun 1945, dia juga dikenal sebagai orang pertama diangkat sebagai pegawai negeri di Departemen Luar Negeri dan di Departemen Penerangan. Yang terakhir ini, karena ia juga menjadi penyiar siaran Bahasa Inggris di Radio Republik Indonesia. Antara tahun 1946-1950, dia menjadi juru bahasa pribadi untuk Bung Karno, Bung Hatta dan Ir. Juanda dan tahun 1949 sempat menjadi kepala bagian penerjemah pada delegasi Indonesia ke Konperensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda. Tahun 1950 dia ditunjuk untuk menjalankan misi khusus ke Uni Soviet dan menjadi anggota perwakilan tetap Indonesia di markas PBB, New York. Karier sebagai pegawai negeri telah membawanya terlibat dalam banyak lagi tugas sebagai anggota delegasi, baik untuk kepentingan nasional, maupun internasional. Dia mengundurkan diri dari Dinas Luar Negeri pada tahun 1957, untuk bergabung dengan Perwakilan PRRI Sementara untuk Singapura dan Hongkong.
Perjalanan hidup Nuradi di dunia periklanan dimulai ketika tahun 1961-1962 mengikuti Management Training Course di SH Benson Ltd., London, perusahaan periklanan terbesar di Eropa saat itu. Sedangkan pengalaman praktek periklanan diperolehnya melalui cabang perusahaan tersebut di Singapura. Sekembalinya ke Jakarta (1963) dia mendirikan perusahaan periklanannya sendiri, InterVista Advertising Ltd..
Pada awalnya, Nuradi hanya mengiklankan produk-produk milik ayahnya (Hotel Tjipajung) dan kenalannya (PT Masayu, agen alat-alat berat). Ia juga membuat iklan untuk usaha milik Judith Wawaruntu, sahabatnya yang secara timbal balik menjadi pembuat gambar untuk iklan-iklan Intervista. Ketika menangani klien Lambretta, merek Scooter masa lalu, Nuradi untuk pertama kali membuat slide untuk iklan di Bioskop. Terobosan ini merupakan awal dari gebrakkan-gebrakkan Nuradi selanjutnya. Pada dasawarsa 1970an, InterVista telah mampu membuat film iklan produksi dalam negri, bahkan memperkerjakan seorang sutradara pribumi untuk menanganinya secara khusus. Tidak heran bila dalam waktu singkat InterVista mendapat kepercayaan dari nama-nama besar seperti, Indomilk, Anker Bir, berbagai merek rokok keluaran British American Tobacco, Vespa dan lain-lain. Beberapa karya iklan InterVista di masa itu, selalu mengundang decak kagum dan menjadi pengingat (mnemonic) dibenak masyarakat, misalnya: Ini Bir Baru, Ini Baru Bir (Anker), Indomilk…..sedaaap, Makin Mesra dengan Mascot (rokok).
Awal dasawarsa 1970an juga ditandai oleh lahirnya berbagai perusahaan periklanan ketika itu lebih umum disebut biro iklan seperti: Libelle pimpinan Yo Wijayakusumah, Trinanda Chandra pimpinan Abdoel Moeid Chandra (juga pemilik radio swasta niaga dengan nama sama), Prima Advera pimpinana Usamah, AdForce pimpinan Sjahrial Djalil, Fortune pimpinan Indra Abidin bekerja sama dengan Mochtar Lubis, Hikmad & Chusen pimpianan H. Hamid Moerni, Metro pimpinan Henry Saputra, Rama Perwira, dan lain-lain.
3.7 Berdirinya PPPI
Popularitas The Jakarta Admen Club bahkan melebihi organisasi resmi yang sebetulnya lebih dulu terbentuk pada tahun 1972, yaitu Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)
Seperti telah dikemukakan pada Bab 1, asosiasi perusahaan periklanan yang pertama berdiri di Indonesia pada tahun 1949 dengan nama Bond van Reclame Bureaux in Indonesia atau dalam bahasa Indonesia disebut Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI). Nama resminya justru yang berbahasa Belanda, karena pada waktu itu sebagian besar pelaku di industri periklanan adalah orang-orang Belanda maupun keturunan Belanda. Demikian juga para pengurusnya adalah orang-orang belanda dan keturunannya. Baru setelah PBRI diketuai oleh orang Indonesia, Muh.Napis,maka pada tahun 1957 diputuskan perhgantian namanya resmi menjadi PBRI. Dengan nama baru itu juga dilekukan penyesuaian istilah dari “perserikatan” menjadi “persatuan”.
Napis adalah seorang tokoh periklanan Indonesia yang ternyata berhasil memimpin PBRI secara terus-menerus hingga memasuki dasawarsa 1970-an. Napis sendiri ternyata sudah jenuh menjadi Ketua PBRI selama belasan tahun, dan menganggap bahwa situasi seperti itu dapat mengarah kepada hal-hal yang tidak demokratis.
Pada tahun 1971, Napis menyelenggarakan referendum di antara anggota PBRI untuk memilih ketua yang baru, di samping juga meminta usulan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta usulan perubahan kebijakan dan strategi. Namun, ternyata referendum itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Napis tetap secara aklamasi diterima sebagai ketua PBRI.
Pada tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia tiba-tiba merasa perlu untuk mengatur industri periklanan. Harsono yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) Departemen penerangan, memprakarsai diselenggarakannya Seminar Periklanan-forum nasional resmi pertama yang diselenggarakan di Indonesia untuk membicarakan arah industri periklanan. Seminar ini diseenggarakan di restoran Geliga, Jalan wahid Hasyim, Jakarta Pusat, dengan ketua penyelenggaraan H.G. Rorimpandey, Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang ketika itu juga Pemimpin Umum Harian Sinar Harapan.
(catatan penulis: sebetulnya, Christianto Wibisono yang ketika itu menjadi Direktur Majalah Tempo pada tahun 1971 telah menyelenggarakan sebuah seminar periklanan untuk mendiskusikan dalam menyikapi masuknya elemen asing ke dalam industri perikalanan Industri Indonesia. Tetapi, lingkup seminar ini masih bersifat terbatas di tataran pelaksana periklanan-bukan pengambil keputusan di tingkat asosiasi dan regulator).
Dalam kesempatan itu pemerintah menyatakan bahwa PBRI adalah satu-satunya wadah perusahaan periklanan yang diakui Pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan ini tampaknya didorong oleh kenyataan telah hadirnya berbagai perusahaan periklanan yang disponsori pihak asing, dan tidak merasa berkepentingan untuk menjadi anggota PBRI. Sekalipun pada tahun 1970 Menteri Perdagangan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo telah menerbitkan surat keputusan yang melarang kehadiran perusahaan periklanan asing di Indonesia, namun kenyataannya praktik “Ali Baba” tetap menghadirkan banyak negara asing di industri periklanan Indonesia. Pernyataan Pemerintah itu membuat hampir semua perusahaan periklanan yang baru didirikan sekitar 1970-an kemudian mendaftar-kan diri menjadi anggota PBRI.
Seminar periklanan itu juga memuncukan napas dan harapan baru akan munculnya generasi modern periklanan Indonesia. Keinginan untuk berorganisasi secara serius pun mulai tampak hidup. Napis pun semakin berharap bahwa penggantinya akan segera muncul.
Kebetulan, pada tahun 1972 itu juga berlangsung Asian Advertising Congress (AAC) VIII di Bangkok. Masih dengan semangat Seminar Periklanan, beberapa tokoh periklanan Indonesia pun segera berangkat menghadiri kongres tersebut. Mereka antara lain adalah: Christian Wibisono, Ken Sudarto, Sjahrial Djalil, Ernst Katoppo, Abdul Moeid Chandra, Jacoba Muaja, Usamah, dan Yo Wijayakusumah. Tidak tanggung-tanggung, delegasi Indonesia pada waktu itu secara nekat juga menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah AAC IX pada tahun 1974. hebatnya lagi, usulan itu ternyata diterima. Pertumbuhan pesat industri periklanan Indonesia tentulah menjadi faktor pembobot yang menghasilkan keputusan itu.
Semangat untuk menjadi tuan rumah Aac IX itulah yang membuat insan periklanan Indonesia semakin membulatkan tekad untuk berorganisasi secara rapi. Pada tanggal 20 Desember 1972, bertempat di restoran Chez Mario milik Muhammad Napis di jalan Ir. H. Juanda III/23, jakarta Pusat, diselenggarakan Rapat Anggota PBRI.
Rapat itu juga dihadiri Direktur Bina Pers dari Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departmen Penerangan, Drs. Tjoek Atmadi. Rapat itu mengagendakan pemilihan pengurus baru, serta membahas kemungkinan dibentuknya sebuah asosiasi periklanan dengan visi dan lingkup yang lebih luas.
Abdul Maeid Chandra, seorang putra Madura aktivis PBRI yang memiliki stasiun radio Trinanda Chandra dan perusahaan perilanan dengan nama yang sama, akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum. Di jajaran pengurus tercatat beberapa orang tokoh periklanan Indonesia, seperti: Savrinus Suardi, Usamah, Sjahrial Djalil, dan Yo Wijayakusumah. Mereka adalah muka-muka baru yang sebelumnya bukan merupakan aktivis PBRI.
Rapat Anggota juga menyepakati pembubaran PBRI dan pembentukan asosiasi yang baru dengan nama Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Dengan pembentukan PPPI, secara resmi hilang pula istilah ”biri reklame” yang berbau kebelanda-belandaan, digantikan dengan istilah yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman: ”perusahaan periklanan”. Desakan untuk mengganti istilah ”biro reklame” juga didasari pada kenyataan bahwa tukang pembuat stempel di pinggir jalan pun menyebut diri mereka sebagai biro reklame.
Pada saat didirikan, PPPI beranggotakan 30 perusahaan periklanan. Sahrial Djalil AdForce menyumbangkan logo bagi asosiasi yang baru itu. PPPI juga segera merumuskan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga yang baru untuk menampung aspirasi periklanan modern.
Sumber : “Rumah Iklan” Bondan Winarno, 2002
.
0 comments:
Post a Comment